Sementara itu tugas yang diemban kepala sekolah adalah memimpin pembelajaran dan mengelola satuan pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai transformasi pendidikan yang berpihak pada peserta didik. Karenanya kepala sekolah tidak memiliki beban mengajar, sebaliknya memegang tugas manajerial.
Sayangnya di Permendikbudristek No 40 Tahun 2021 tidak disebutkan tunjangan yang akan diterima oleh seorang kepala sekolah. Namun demikian ada klausul yang menyebutkan masa kerja kepala sekolah bisa mencapai 4 periode bila hasil kinerjanya baik. Bahkan boleh menjabat di tempat yang sama selama 2 periode.
Sejak SMA/SMK/SLB berada di bawah naungan Dinas Pendidikan Provinsi, banyak guru yang memilih untuk tidak mendaftar sebagai calon kepala sekolah. Alih-alih promosi jabatan di lingkungan kabupaten/kota tempat tinggalnya, pengangkatan kepala sekolah dilakukan antarlintas kabupaten.
Ambil contoh Pak Dimyati yang berasal dari sebuah kota di pantai utara Jawa. Setelah mengikuti tes calon kepala sekolah dia dinyatakan lulus. Maka selanjutnya berhak mengikuti diklat calon kepala sekolah selama kurang lebih 71 jam. Sungguh-sungguh dan serius dalam mengikuti diklat menjadi penentu agar sang calon kepala sekolah memperoleh predikat layak.
Setelah penantian panjang Pak Dimyati mendapatkan promosi dengan selembar SK Pengangkatan Kepala SMA di lereng gunung Merbabu, Kabupaten Semarang. Gembira, bangga, dan masygul bercampur aduk. Tak menyangka dirinya akan ditempatkan sejauh 80 kilometer dari tempat tinggalnya. Mau tidak mau dia harus menerima keputusan itu. Dia tidak bisa begitu saja menolak.
Sebelum diberikan SK Pengangkatan dari Gubernur, dia sudah meneken sebuah perjanjian awal, bersedia ditempatkan di seluruh wilayah provinsi. Maka pada usianya yang sudah senja dia harus merelakan diri berkendara sejauh hampir 80 kilometer dari tempat tinggalnya. Berangkat sebelum mentari terbit pulang saat matahari tenggelam.
Pertanyaannya, apa tujuan promosi dan mutasi kepala sekolah ini? Meningkatkan jenjang karier? Tentu saja. Tetapi, apakah kenaikan jenjang karier berbanding lurus dengan kesejahteraan? Mari kita berhitung sejenak. Penghasilan yang diterima oleh seorang kepala sekolah berasal dari gaji bulanan. Tentu saja ini disesuaikan dengan masa kerja dan pangkat golongan.
Tunjangan lain? Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan adanya tunjangan profesi bagi guru dengan salah satu syaratnya adalah memiliki sertifikat pendidik. Selain beberapa syarat yang harus dipenuhi seperti terdaftar di Dapodik, jumlah jam mengajar memenuhi serta mata pelajaran yang diampu pun linier.
Tunjangan profesi guru ini jumlahnya sebesar satu kali gaji setelah dipotong pajak 15% bagi guru golongan 4 dan 5% bagi guru golongan 3. Besar bukan pajak yang harus dibayar. Selain dipotong pajak apabila seorang guru terindikasi mangkir kerja selama 3 hari berturut-turut maka tunjangan satu bulan tidak dapat dibayarkan.
Memang masih ada tunjangan lain yang diterima oleh kepala sekolah sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing. Dalam Pergub No 15 Tahun 2019 disebutkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan tunjangan sebesar Rp 3 juta bagi kepala sekolah. Hanya selisih Rp 1 juta dengan guru biasa di golongan 4.
Bila kita cermati ternyata besaran penghasilan seorang kepala sekolah sesuai aturan yang berlaku tidak jauh berbeda dengan guru tanpa tugas sebagai kepala sekolah. Dari contoh pengangkatan Pak Dimyati tadi, setelah dikalkulasi ternyata Pak Dimyati ini harus menyisihkan hampir sekira Rp 300 ribu sehari untuk BBM dan tol agar bisa tiba di tempat tugas tepat waktu. Sungguh hal yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Sebagai kepala sekolah tentu saja dia harus memberi keteladanan yang baik. Bukankah keteladanan yang merupakan kurikulum pendidikan dan selanjutnya akan ditiru oleh anak buah maupun para siswa di tempatnya bekerja. Namun keteladanan ini harus dibayar mahal. Cuan yang didamba malah berbuah keprihatinan. Pak Dimyati kian hari bukannya kian berisi tetapi makin kurus kering badannya. Karier meningkat tetapi pendapatan menyusut.
Pihak pemerintah provinsi rupanya memahami dan menangkap sinyalemen ini. Empat tahun berlalu, mutasi pun dilakukan. Pak Dimyati dikembalikan ke kota asal. Begitu pun para kepala sekolah yang sebelumnya ditempatkan antarlintas kota. Satu masalah sepertinya terselesaikan.
Lalu bagaimana dengan kepala sekolah yang harus merangkap dua jabatan? Menjadi pejabat plh di sekolah yang ditinggalkan pimpinannya demi sebuah kesejahteraan. Sejahtera memang tidak selalu berbentuk cuan. Hati yang tenang, dekat keluarga, dan pengeluaran yang seimbang dengan pemasukan.
Mungkin tunjangan tambahan penghasilan sebesar 5 kali gaji pokok bisa memberi angin segar bagi guru yang mendapat promosi sebagai kepala sekolah. Dengan catatan bila kinerja kurang memenuhi yang dipersyaratkan boleh-boleh saja kan bila demosi.
Bagaimanapun menjadi kepala sekolah adalah sebuah pilihan. Rupanya mulai tahun ini tidak sembarang guru bisa mendaftar. Salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah memiliki sertifikat guru penggerak. Dan tidak semua guru dengan gampang meraih predikat guru penggerak. Ada sejumlah seleksi yang harus diikuti dari menulis esai hingga tes mengajar dan wawancara.
Kepala sekolah benar-benar telah menjadi jabatan yang penuh gengsi ke depan nanti apalagi bila diikuti tunjangan resmi yang tinggi tanpa harus bermain api atas nama anggaran.
Lestari Ambar S guru tinggal di Ambarawa
(mmu/mmu)