Suatu sore, saya terkejut menyaksikan seorang anak SMP mengajak adiknya ke depan rumah sambil membawa beberapa plastik bungkus makanan ringan yang baru saja dinikmati. Di depan rumah mereka ada selokan yang bersambung dan memanjang melintas di depan rumah tetangga.
Si anak SMP membuang sampah plastik tersebut ke selokan itu dan mengajari adiknya untuk turut melakukan hal yang sama. Mereka "berhasil" membuang sampah plastik dan dengan riang kembali ke dalam rumah. Padahal, ibunya menyaksikan apa yang dilakukan oleh kedua anaknya.
Bagi saya, peristiwa demikian bukan suatu prestasi melainkan kepiluan. Saya merasa pilu dengan kenyataan (beranjak dari fenomena faktual) bahwa tunas muda bangsa Indonesia tidak memiliki cita rasa ekologis (sense of ecology) atau setidaknya tidak diajari untuk tidak dengan sembarangan membuang sampah ke lingkungan yang bukan tempatnya.
Saya juga merasa pilu karena jika apa yang dilakukan oleh si anak berlanjut terus-menerus, maka akan menjadi satu budaya yang keliru. Selain itu, jika terus-menerus melakukan hal demikian, maka mereka menjadi penyumbang aktif limbah sampah plastik yang bertaburan.
Atas kejadian itu, saya mencoba bertanya: apakah di sekolah rasa ekologis tidak diajarkan? Apakah di sekolah, kurikulum tentang pendidikan lingkungan hidup kurang diperhatikan atau bahkan tidak ada? Apakah anak hanya diajari teori ilmu eksakta dan humaniora, sementara teori dan praktik berekologi tidak dan dianggap sebagai materi tempelan saja?
Perhatian Serius
Pendidikan itu menjadi satu kebutuhan primer untuk kehidupan manusia. Jika tidak ada pendidikan, manusia bisa menjadi bodoh, miskin, dan tidak dapat bertahan dalam eksistensinya.
Oleh karena hidup manusia begitu kompleks, pendidikan pun menjadi kompleks. Termasuk di dalam pendidikan yang dimaksud yaitu pendidikan lingkungan hidup (PLH). Lewat pendidikan ini hendak disasar target bahwa seorang yang terdidik memiliki pandangan dan kesadaran yang benar untuk peduli pada lingkungan hidup.
Lalu, seorang yang terdidik dibantu untuk berubah dari pemerhati lingkungan yang pasif menjadi pelaku aktif, bahkan kalau bisa menjadi aktivis lingkungan hidup. Untuk itu, dibutuhkan kurikulum pendidikan yang serius dalam ranah lingkungan hidup. Tidak hanya itu, para pendidik harus mengoptimalkan kurikulum tersebut agar menjadi budaya dan gaya hidup (way of life) bagi orang-orang yang dididik.
Di Indonesia, tampaknya kurikulum PLH belum mendapat perhatian yang serius. Beberapa kali kurikulum pendidikan berganti, mulai Kurikulum 1947 hingga Prototipe, namun PLH tidak diakomodasi dengan serius. Tampaknya, PLH dipandang sebagai pendidikan yang amat sekunder dan bisa didapatkan di mana saja, bukan hanya di sekolah.
Siapa saja bisa mengajarinya, tidak hanya guru. Selain itu, tidak ada nilai yang mau disasar sebagai bentuk capaian prestasi. PLH juga bisa dijadikan sebagai bagian dari ekstrakurikuler sekolah.
Mengubah Cara Pandang
Seorang filsuf kebangsaan Norwegia, yakni Arne Dekke Eide Naess (1912-2009) dikenal sebagai tokoh yang mendobrak dunia dan banyak orang agar lingkungan hidup dihargai eksistensi dan perkembangannya yang terjadi secara alamiah.
Arne Naess juga begitu prihatin atas krisis lingkungan hidup yang terjadi pada abad dua puluh dan dua puluh satu ini. Lewat gagasannya dalam Deep Ecology, Arne ingin agar; pertama, manusia mengubah cara pandang dan berperilaku terhadap alam. Kedua, ia ingin agar manusia abad dua puluh satu tidak kehilangan cita rasa ekologis.
Perubahan tersebut sifatnya fundamental dan harus radikal serta mengarah pada satu lifestyle dan way of life baik untuk manusia milenial saat ini maupun untuk generasi berikutnya. Karena, sudah sangat lama arah kiblat pandangan manusia adalah antroposentrisme, yakni manusia sebagai pusat segalanya.
Pandangan bahwa lingkungan hidup adalah dapur untuk mengolah segala sesuatu yang berhubungan dengan kesejahteraan manusia dan sekaligus dapur sebagai tempat pembuangan sisa-sisa konsumsi manusia telah mengakar kokoh dalam peradaban. Pandangan tersebut akan menuntun banyak orang, secara sadar tak sadar, untuk meniadakan paham ekosentris atau biosentris, dimana setiap makhluk dan lingkungan hidup memiliki nilai in se.
Lingkungan hidup dan elemen di dalamnya memiliki hak dan kemerdekaan sendiri yang perlu dihormati oleh manusia, bukannya dilecehkan begitu saja. Jika pengabaian terhadap lingkungan hidup dibiarkan tetap awet, bahaya demi bahaya menanti di depan mata. Ibaratnya, manusia sekarang menabung hari demi hari potensi berbahaya akan bencana-bencana yang bisa saja memusnahkan peradaban.
Mengaktivasi Kurikulum
Salah satu langkah dasar adalah kurikulum PLH perlu digiatkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hal sepele seperti kejadian seorang anak SMP yang membuang sampah sembarangan bisa menjadi sangat merusak alam jika dibiarkan tanpa ada pendampingan dan arahan yang tepat dari para pendidik.
Indonesia perlu mengaktivasi kembali kurikulum PLH. Sebenarnya sudah sejak 1975 PLH diselenggarakan di negara ini sejak dari tatanan sekolah dasar, menengah, atas, hingga perguruan tinggi negeri dan swasta.
Aktivitas ini menjadi implementasi dari lokakarya Internasional tentang PLH di Yugoslavia dengan pernyataan The Belgrade Charter: A Global Framework for Environmental Education dan Environmental Education Action Plan 2000-2005 di ASEAN.
Hanya saja, lirikan dari para pakar dan tenaga pendidik untuk mensosialisasikan dan mendarahdagingkan PLH dalam pendidikan Indonesia belum terlalu getol. Padahal, visi dari PLH sendiri amat luhur dan ekologis yakni terwujudnya manusia Indonesia yang memiliki pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan untuk berperan aktif dalam melestarikan dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Bagaimana agar visi tersebut dapat terlaksana dengan optimal? Seharusnya PLH diajarkan melalui berbagai cara seperti observasi, diskusi, kegiatan praktik (lapangan maupun laboratorium), seminar, debat, kerja proyek, magang, atau bisa juga lewat kegiatan petualangan alam. Jika, pendidikan PLH dilakukan hanya dengan ceramah, para murid akan sangat bosan dan hanya menjadi pendengar yang pasif.
Sungguh sulit lahir di dalam hati, pikiran, dan aksi mereka untuk memelihara cita rasa ekologis, bagaimana bersaudara dengan alam semesta, lingkungan hidup tempatnya tinggal dan melakukan beragam aktivitas.
Selain itu, PLH dapat diajarkan dengan pendekatan atau mediasi yang kontekstual. Menurut Departemen Pendidikan Nasional pada 2003 yang lalu, penerapan pendekatan tersebut dapat dilakukan dalam tujuh langkah.
Langkah pertama adalah mengembangkan pemikiran setiap siswa bahwa mereka akan belajar dengan memetik makna lewat cara belajar dan bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilannya di lingkungan hidupnya.
Kemudian, siswa dituntun untuk melaksanakan kegiatan inkuiri. Maksudnya, siswa dibantu melakukan observasi lapangan, bertanya, berhipotesis, mengumpulkan data yang akurat, dan menarik kesimpulan. Ini adalah langkah kedua.
Selanjutnya, masuk pada langkah ketiga yaitu menumbuhkembangkan dalam diri siswa rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan ini, siswa dengan kesadaran sendiri mencari tahu informasi yang lebih tentang fenomena yang terjadi di lingkungan hidup.
Setelah itu, pihak pendidik atau sekolah menciptakan kelompok diskusi. Tujuannya adalah agar setiap siswa saling belajar dalam kelompok. Setiap siswa dipandu untuk saling bertukar pikiran, berdebat, dan berhipotesa atas lahan observasinya.
Untuk membantu pembelajaran, perlu dihadirkan seorang tokoh, atau model, atau aktivis yang sungguh berjuang dalam pelestarian lingkungan hidup. Langkah ini akan sungguh memicu semangat para murid untuk semakin cinta dan turut serta memelihara kelestarian lingkungan hidup.
Alangkah perlu dilakukan refleksi atau evaluasi di akhir pembelajaran. Agar, materi pembelajaran sungguh mendarat dan aplikatif. Langkah selanjutnya dan terakhir adalah melakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).
Langkah ini dibuat dengan cara memberikan nilai atas laporan, pekerjaan rumah, karya, dan hasil penelitian. Jika dianggap sudah memadai, hasil kerja bisa diterbikan dalam karya tulis atau buku lalu dipublikasikan agar makin banyak siswa yang tertarik memberi diri sebagai agen pemelihara lingkungan hidup.
Ketujuh langkah di atas adalah model. Setiap tenaga pendidik dapat menganimasi lagi PLH agar sesuai dengan konteks dan situasi sosial sekitarnya. Tujuan dasar adalah agar sejak dini, setiap masyarakat Indonesia sungguh menyadari dirinya memiliki potensi sebagai makhluk ekologis. Selanjutnya, agar kurikulum PLH menjadi track yang menuntun masyarakat Indonesia memiliki habitus ekologis. Sehingga, lingkungan hidup Indonesia terpelihara bukan untuk hanya sekarang, melainkan di masa mendatang.
Semoga kurikulum PLH sungguh-sungguh ditilik, dikembangkan, dan digiatkan di tengah-tengah dunia pendidikan Indonesia. Agar tidak hanya aspek kognitif dan pengetahuan ilmu, tetapi memiliki kedalaman rasa dan kognisi ekologis.
(mmu/mmu)