Reintegrasi lembaga riset, bila diurai dari perspektif Digital Weberianism Bureaucracy (DWB), sesungguhnya suatu kebutuhan, bahkan keharusan. Pertama, gelombang kedua digitalisasi berbasis social web pada awal dekade 2010-an telah mengakhiri era kandang besi (iron cage) birokrasi Weberian. Disadari atau tidak, saat ini kita sudah memasuki masa birokrasi kandang digital (digital cage) dari DWB itu.
Kedua, desentralisasi dan privatisasi layanan publik model new public management (NPM) atau reinventing government management dan e-government terbukti telah mengalami krisis dan dilematis. Terdapat kesenjangan yang besar antara konstruksi teoretik dengan kinerja empirik desentralisasi layanan publik.
Ketiga, tata ulang atas tata kelola lembaga publik adalah kebutuhan, bila tak hendak dikatakan sebagai keharusan. Tema pokoknya adalah bagaimana membangun lembaga publik memasuki arena digital era governance (DEG).
Lembaga Riset Era DWB
Sama halnya dengan lembaga publik yang lain, bagi lembaga riset publik saat ini tidak ada pilihan lain kecuali memasuki arena DWB (Muellerleile and Robertson, 2018) itu. Masa emas birokrasi riset yang bertumpuk kertas (paper in motion) telah berakhir, bergeser ke data in motion. Esensi pengetahuan (knowledge) telah berubah menjadi data. Apa yang disebut the public, saat ini berwujud sebagai big data.
Selamat tinggal periset profesional, karena kendali riset saat ini telah berada di tangan pengampu data (data scientist). Gedung tinggi yang megah sudah tidak relevan, sebab kantor (bureau) saat ini telah didominasi oleh digital platform. Era periset kharismatik sudah lewat, yang berperan sekarang justru para inovator yang cerdas, bahkan para pengganggu kemapanan (disruptor).
Aturan baku digeser oleh code, prosedur menjadi algorithm, tumpukan arsip diganti dengan jejak digital (digital footprint). Suka atau tidak suka, birokrasi kandang digital (silicon web) saat ini telah menggantikan birokrasi kandang besi (iron cage).
Krisis NPM
Walaupun risetnya terkait birokrasi publik secara umum, peringatan Dunleavy, et al (2005) dalam New Public Management is Dead--Long Live Digital-era Governance dapat digunakan untuk mengupas diskursus tentang desentralisasi atau sentralisasi politik riset kita. Dulu, kita berharap bahwa NPM, dengan tiga komponen utama disaggregation, competition, dan incentivization dapat memecahkan dan menghasilkan layanan publik yang unggul, yakni better, faster, dan cheaper.
Tak heran bila selama puluhan tahun kita didorong dan diyakinkan secara global untuk tidak ragu mempraktikkan reinventing government management, dan bahkan diperkuat dengan e-government management. Tetapi, riset Dunleavy, et al itu justru menemukan adanya krisis NPM, yang ditandai dengan situasi dilematis.
Pertama, perubahan manajemen publik memang berpengaruh positif terhadap tingkat pemecahan masalah sosial, tetapi pada saat yang sama hal ini tidak mendorong kompetensi warga untuk mampu berotonomi. Padahal yang terakhir ini justru berperan penting dalam menentukan tingkat pemecahan masalah sosial.
Kedua, NPM meningkatkan kompleksitas kebijakan dan kelembagaan. Di satu sisi, hal ini akan menurunkan tingkat pemecahan masalah sosial, dan di lain sisi juga akan menurunkan kompetensi warga untuk dapat berotonomi. Artinya, secara akumulatif, NPM sulit untuk mendorong tingkat pemecahan masalah sosial.
Memang, NPM dengan tiga komponennya itu telah menjadikan fragmentasi lembaga publik, proliferasi banyak silo pusat layanan yang justru berorientasi pada proses bisnisnya sendiri, bukan pada kepentingan warga. Biaya layanan pun juga menjadi mahal.
Riset Meilani and Hardjosoekarto (2020) juga menunjukkan fenomena gagalnya desentralisasi layanan publik di Indonesia, mirip dengan yang diidentifikasi oleh Dunleavy, et al itu. Untuk urusan sistem peringatan dini kebencanaan saja antara BMKG, BNPB, PVMBG dan BPPT tidak saling sapa yang akrab. Telah tumbuh banyak silo layanan peringatan dini: InfoBMKG (BMKG), InaRisk, InDRA, InaWARE, dibi (BNPB), MAGMA Indonesia (PVMBG), EEWS (BMKG), bale kohana, red and white buoy, tsunami buoy, SmartTMC (BPPT).
Meilani and Hardjosoekarto (2020) menyebut fenomena ini sebagai parade aplikasi, yang tidak saling terkoneksi satu dengan yang lain. Alih-alih menyajikan informasi krisis bencana yang faster, better, dan cheaper, parade aplikasi ini justru memicu kebingungan warga terdampak pada detik-detik bencana tsunami vulkanik 2018 itu. Temuan ini diperkuat oleh riset Akhyar, et al (forthcoming) yang mengupas Digital Mediated Crisis Communication in DRR: A Lesson Learned from the 2018 Sunda Strait Volcanic Tsunami.
Proliferasi silo layanan publik seperti ini boleh jadi sangat tinggi di antara lembaga riset antar Kementerian/Lembaga serta antar pemerintah daerah. Selain pemborosan, hal ini tentu sudah tidak cocok dengan arena DEG.
Tata Ulang
Sejauh dimaksudkan untuk membangun lembaga riset dalam rangka memasuki arena DEG, maka tata ulang lembaga riset di bawah payung organisasi BRIN tentu dapat dibenarkan, dan bahkan suatu keharusan. Tiga pedoman dasar disarankan oleh Margetts and Dunleavy (2013) untuk tujuan tata ulang layanan publik, tidak terkecuali untuk lembaga riset publik, yakni reintegration, need-based holism dan digitalization.
Pertama, reintegration itu maksudnya adalah penggabungan kembali dan de-silo-nisasi proses layanan publik yang telah terfragmentasi. Bahkan, bila perlu dilakukan 're-governmentalizing' (pengambilalihan kembali) layanan publik tertentu secara terpusat oleh negara.
Kedua, need-based holism itu maksudnya adalah tata ulang menyeluruh struktur organisasi lembaga publik supaya fokus pada kebutuhan warga. Termasuk di dalam aspek ini adalah desain ulang layanan satu atap dan yang terintegrasi secara penuh, serta pembangunan struktur organisasi pemerintahan yang gesit dan tangguh.
Ketiga, digitalization itu maksudnya adalah adaptasi secara menyeluruh sektor publik termasuk pada bentuk-bentuk baru otomatisasi dengan teknologi terkini dengan sedikit dan bahkan tanpa campur tangan manusia. Digitalisasi ini juga pada akhirnya harus menjadikan warga untuk lebih banyak melakukan sendiri layanan tertentu dalam kerangka pemerintahan 'warga yang dapat melakukan sendiri' ('do it yourself' government).
Bila dalam beberapa minggu terakhir ini terdapat diskursus yang ramai terkait tata ulang lembaga riset dalam payung BRIN, tentu diperlukan kecermatan, ketelitian dan kecepatan respons Pimpinan BRIN dalam mengelola pro dan kontra pemikiran. Kepiawaian penjelasan (skillful discussion) bahkan dialog, bukan raw debate tentu menjadi sangat penting.
Prof. Dr. Sudarsono pengampu mata kuliah Sosiologi Organisasi dan Birokrasi Digital, FISIP UI
(mmu/mmu)