Dalam satu tahun ke depan, Indonesia akan memegang tampuk Presidensi Group of Twenty (G20). Secara resmi, Indonesia berperan sebagai Presidensi G20 dari 1 Desember 2021 hingga KTT G20 pada November 2022. Serah terima presidensi dari Italia (selaku Presidensi G20 2021) kepada Indonesia sudah dilakukan secara langsung pada 31 Oktober 2021 di Roma, Italia.
Arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk peran ini adalah untuk mendorong pembahasan tiga agenda, yaitu kesehatan yang inklusif, transformasi digital, dan transisi energi. Selain mewujudkan vaksinasi yang merata, Presidensi G20 Indonesia diharapkan sukses dalam mempercepat digitalisasi dan mengarahkan koordinasi kebijakan global terkait pembiayaan perubahan iklim.
Diakui, transisi energi menuju net-zero emission untuk menangani isu perubahan iklim akan membutuhkan jumlah pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) yang tidak kecil. Indonesia dipastikan akan mengedepankan agenda pembiayaan berkelanjutan, mengingat Indonesia akan sangat terdampak dari perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan, dengan adanya perubahan iklim, ancaman bencana di Indonesia akan lebih sering terjadi.
Sebagai negara peringkat delapan terbesar penyumbang emisi karbon dunia, Indonesia turut andil menjadi penyebab perubahan iklim. China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menjadi tiga kontributor terbesar emisi karbon di dunia. Emisi yang dihasilkan telah meningkatkan suhu di Indonesia sekitar 0,03 derajaelcius per tahunnya.
Data BNPB selama satu dekade ini mencatat, 98 persen frekuensi kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi yang terdampak perubahan iklim. Frekuensi bencana banjir, gelombang ekstrim, kebakaran lahan dan hutan, kekeringan, dan cuaca ekstrem meningkat.
Lebih lanjut, perubahan iklim juga berdampak pada kenaikan permukaan air laut. Permukaan air laut mengalami kenaikan sekitar 0,8 sampai 1,2 sentimeter per tahun. Sementara itu, 65% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir. Disadari, perubahan iklim menjadi ancaman besar yang nyata bagi Indonesia.
Oleh sebab itu, agar diperoleh hasil konkret, Presiden Jokowi mengarahkan agar pembiayaan berkelanjutan perubahan iklim dapat diajukan pembahasannya dalam forum G20 tersebut. Presidensi G20 diharapkan bisa membuktikan komitmen dari semua negara untuk mendorong pembiayaan berkelanjutan.
Sebagai bagian dari upaya bersama, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2030 sebesar 29% atas usaha sendiri, atau 41% dengan bantuan internasional. Secara sektoral, penurunan emisi GRK ditargetkan sebanyak 17,2% pada sektor kehutanan, 11% pada sektor energi, 0,32% pada sektor pertanian, 0,10% pada sektor industri, dan 0,38% pada sektor limbah.
Berdasarkan perhitungan, perkiraan kebutuhan domestik untuk pembiayaan berkelanjutan perubahan iklim per sektor hingga 2030 mencapai Rp 3.461 triliun hingga Rp 3.779 triliun. Second Biennial Update Report 2018 menjadi rujukan perkiraan pertama, sedangkan Roadmap NDC Mitigasi Indonesia 2020 merupakan rujukan perkiraan kedua. Pada kedua estimasi, sektor kehutanan serta sektor energi dan transportasi menjadi dua sektor dengan kebutuhan pembiayaan terbesar.
Bila dirinci sektor per sektor, angka perkiraan pertama Rp 3.461 triliun mencakup kebutuhan pembiayaan berkelanjutan di sektor kehutanan Rp 77,82 triliun, energi dan transportasi Rp 3.307,2 triliun, proses industri dan penggunaan produk Rp 40,77 triliun, limbah Rp 30,35 triliun, serta pertanian Rp 5,18 triliun. Rata-rata kebutuhan pembiayaan seluruh sektor per tahun dari 2018 hingga 2030 adalah Rp 266 triliun.
Estimasi kedua Rp 3.779 triliun, meliputi kebutuhan pembiayaan berkelanjutan di sektor kehutanan Rp 93,28 triliun, energi dan transportasi Rp 3.500 triliun, proses industri dan penggunaan produk Rp 0,92 triliun, limbah Rp 181,4 triliun, serta pertanian Rp 4,04 triliun. Rata-rata per tahun dari 2020 hingga 2030 dibutuhkan pembiayaan sebesar Rp 291 triliun.
Di sisi lain, disadari anggaran pemerintah memiliki keterbatasan. Total alokasi anggaran untuk mitigasi perubahan iklim sepanjang 2018 hingga 2020 saja, hanya mencapai Rp 307,94 triliun, atau rata-rata Rp 103 triliun per tahun. Artinya, pembiayaan berkelanjutan untuk perubahan iklim masih mencatat defisit Rp 163 triliun hingga Rp 188 triliun per tahunnya.
Menyimak detil data APBN periode 2018 – 2020, tren alokasinya terus menurun. Pada 2018, anggaran perubahan iklim dialokasikan Rp 132,47 triliun dengan realisasi sebesar Rp 126,04 triliun. Selanjutnya tahun 2019, alokasi anggaran turun menjadi Rp 97,66 triliun dengan realisasi Rp 83,54 triliun. Tahun 2020, alokasi anggaran perubahan iklim kembali turun di angka Rp 77,71 triliun.
Mengingat kebutuhan pembiayaan berkelanjutan yang begitu besar untuk menangani perubahan iklim, tanggung jawab tersebut tidak dapat ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Bila dipaksakan, maka pasca pandemi Covid-19, beban defisit fiskal akan sulit ditekan dari 5,7 persen PDB saat ini kembali di bawah tiga persen PDB.
Indonesia tidak sendirian. Kurangnya kapasitas pembiayaan berkelanjutan seluruh negara-negara berkembang hingga 2030 telah dihitung IMF, jumlahnya sekitar USD 2.6 triliun. Dengan asumsi besar defisit pembiayaan per tahun Rp 163 triliun hingga Rp 188 triliun, Indonesia masih akan membutuhkan suntikan dana pembiayaan berkelanjutan sekitar Rp 2.100 triliun hingga 2030 nanti dari pihak di luar pemerintah. Artinya, pemerintah baru dapat memenuhi 42 persen dari total kebutuhan.
Dari sisi perencanaan, target kontribusi pemerintah sebesar 58 persen masih belum tercapai. Untuk itu, upaya penggalian berbagai sumber pembiayaan berkelanjutan untuk perubahan iklim perlu diintensifkan. Berbagai opsi bisa dipetakan. Sumber utama dan pertama tentunya kebijakan fiskal melalui upaya peningkatan penerimaan negara, dan optimalisasi belanja dan pembiayaan dalam kerangka APBN.
Di sisi penerimaan negara, serangkaian kebijakan optimalisasi penerimaan negara dan reformasi perpajakan telah dilakukan. Hasilnya adalah tren peningkatan penerimaan negara rata-rata delapan persen per tahun sejak tahun 2016, sebelum terhenti oleh pandemi Covid-19 pada 2020.
Di sisi belanja, pemerintah telah melakukan penandaan anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate budget tagging). Dengan dukungan UNDP, kegiatan tersebut sudah mulai dilaksanakan sejak 2016 dan hasilnya dipublikasikan dalam bentuk buku laporan setiap dua tahun.
Dari sisi pembiayaan, pemerintah telah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif secara konsisten dalam batas aman dan level risk appetite dengan defisit anggaran di bawah tiga persen PDB. Untuk mengatasi dampak pandemi di periode 2020-2021, kebijakan tersebut mau tidak mau dilonggarkan, sehingga defisit anggaran mencapai 6,34% PDB pada 2020 dan 5,70% PDB pada 2021.
Inovasi pembiayaan melalui instrumen fiskal dilakukan dengan penerbitan Green Bond dan Green Sukuk --baik global dan ritel-- untuk membiayai proyek hijau dalam APBN. Sejak 2016-2020, Pemerintah sudah melakukan tiga kali penerbitan dengan total senilai Rp 38,5 triliun.
Sumber kedua adalah mengembangkan akses instrumen pembiayaan yang inovatif di luar kerangka APBN, salah satunya Result-Base Payment (RBP) yang bersumber dari pendanaan global. RBP diberikan atas dasar kinerja penurunan emisi GRK. Indonesia memiliki akses terhadap dua RBP, yaitu Green Climate Fund (GCF) dan Forest Carbon Partnership Facilities-Carbon Fund (FCPF-CF) World Bank.
RBP GCF diberikan atas kinerja 2014-2016 sebesar 20,3 juta ton CO2 --setara dengan nilai USD 103,8 juta. Selanjutnya RBP FCPF-CF di Provinsi Kalimantan Timur diberikan atas kinerja sebesar 22 juta ton CO2 --setara dengan nilai USD 110 juta, untuk tiga kali tahap pembayaran antara tahun 2021-2025.
Dalam upaya meningkatkan akses pendanaan global ini, tentunya ada beberapa hal yang masih perlu perbaikan seperti tata kelola, pendataan, termasuk sistem registri untuk bisa membuktikan secara valid, berapa besar capaian penurunan emisi GRK di Indonesia.
Inovasi lainnya, pelibatan dunia usaha swasta dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk membiayai proyek infrastruktur dan sektor ekonomi berorientasi hijau. Melalui skema Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia - yang melibatkan 13 bank dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) – telah disalurkan kredit dan pembiayaan mencapai Rp 809,75 triliun.
Di samping upaya mencari inovasi sumber-sumber pembiayaan di luar kerangka APBN, perhatian pada aspek tata kelolanya tidak dapat diabaikan. Hasil mobilisasi dana untuk pengendalian perubahan iklim di luar kerangka APBN, baik dari sumber dalam negeri maupun internasional, memerlukan pengelolaan khusus. Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dibentuk Oktober 2019 untuk tujuan tersebut; mengelola, memupuk dan menyalurkan hasil mobilisasi dana guna mendukung upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengendalian perubahan iklim.
Mengingat pentingnya agenda pembiayaan berkelanjutan dalam menyelesaikan isu perubahan iklim, upaya diplomasi Indonesia tidak hanya dilakukan selama memegang tampuk Presidensi G20 pada 2022. Tentunya, Indonesia akan berupaya konsisten mengedepankan agenda ini secara berkesinambungan dalam forum diplomasi internasional.
Kesempatan itu akan datang di tahun berikutnya. Pada 2023, Indonesia akan didapuk sebagai Ketua ASEAN dan ASEAN+3. Ini merupakan kali keempat kepemimpinan Indonesia di ASEAN, yang sebelumnya diemban pada 1967, 2003, dan 2011. Pada Keketuaan Indonesia (ASEAN Chairmanship) di forum ASEAN 2023 tersebut, pembiayaan berkelanjutan akan kembali menjadi salah satu prioritas agenda pembahasan. Menjadi keinginan bersama tentunya, upaya berkesinambungan ini memberikan hasil sesuai harapan.
Sigit Setiawan Peneliti Ahli Utama pada Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
(mmu/mmu)