Kegentingan sosial sedang mencuat dari Hutan Register 118 Bawosie, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Kegentingan ini bermula dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 32 Tahun 2018 tentang Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo-Flores (BOP-LBF), yang antara lain mengatur perubahan status dan pemanfaatan hutan seluas 400 hektar itu menjadi kawasan bisnis pariwisata. Sejak itu, di bawah koordinasi BOP-LBF sebagai perpanjangan tangan Presiden, beberapa kementerian tak hanya mengklaim tanah di Labuan Bajo, tapi juga memiliki banyak proyek, yang seringkali dikerjakan tanpa koordinasi intensif dengan unsur pemerintahan daerah setempat.
Sebagai bagian dari agenda pemanfaatan Hutan Bowosie, misalnya, kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang terlibat proyek bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, mulai membabat hutan alami itu dengan dalih pembuatan persemaian bibit modern. Dalih ini sulit diterima akal sehat, sebab di tengah meluasnya tuntutan pertobatan ekologis demi mencegah kemunculan patogen-patogen baru sejenis Covid-19 di masa mendatang, pemerintah justru bersikeras membabat hutan itu secara masif. Apalagi pembabatan itu dilakukan di tengah seriusnya krisis lingkungan yang menimpa Labuan Bajo dan sekitarnya.
Bertambahnya populasi dan pesatnya investasi pariwisata membuat kebutuhan air bersih di kota pariwisata super premium ini semakin tinggi. Fenomena ini mendesak warga melindungi kawasan hutan, bahkan memperkuat program penghijauan. Alih-alih mendukung program ini, proyek-proyek dari Jakarta justru kontraproduktif, bahkan cenderung menjerumuskan warga pada pusaran bencana ekologis di masa mendatang.
Ketidakadilan Ekologis
Bayangan bencana ekologis makin kasatmata manakala alihfungsi Hutan Bowosie dilakukan melalui skema Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam (IUPSWA), Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal dalam Negeri (PDMA), penghapusan analisis dampak lingkungan (AMDAL), dan insentif keringanan pajak bagi pemodal. Skema ini, didukung konstelasi hukum nasional pasca terbitnya Omnibus Law Cipta Kerja, mempertegas minimnya komitmen pemerintah terhadap pembangunan pariwisata berbasis ekologi di ujung barat Pulau Flores itu.
Sekalipun proyek pariwisata tersebut berorientasi meningkatkan kesejahteraan rakyat, segala potensi risiko sosial-ekologis seharusnya tetap dipertimbangkan secara cermat, mengingat Hutan Bowosie memiliki fungsi ekologis sangat strategis bagi Labuan Bajo dan sekitarnya.
Secara elementer, kawasan hutan ini merupakan lumbung oksigen sekaligus hulu bagi hampir semua mata air di Kota Labuan Bajo dan sekitarnya. Membabatnya berarti memperparah krisis air di kota ini, yang dalam satu dekade terakhir menjadi masalah serius yang belum terpecahkan secara tuntas.
Sementara secara ekologis, kawasan Hutan Bowosie memiliki fungsi yang jauh lebih fundamental, yaitu sebagai satu-satunya kawasan hutan tutupan Kota Labuan Bajo dan tujuh wilayah adat di sekitarnya. Banyak spesies bermukim dalam kawasan ini, yang menjadi sumber daya sangat penting bagi warga lokal, tidak hanya untuk pangan, tapi juga untuk penyembuhan penyakit.
Bahkan, dari pengalaman empiris selama ini, keseimbangan ekologis di Hutan Bowosie ditentukan oleh peran dan keterlibatan semua spesies itu, termasuk spesies yang jumlahnya kecil atau mungkin tak terlihat, seperti jamur, lumut, cacing, serangga, reptil, dan mikroorganisme. Keseimbangan ini membantu mencegah bencana, seperti banjir dan longsor. Maka, tak hanya mengurangi keanekaragaman hayati dan menurunkan kualitas lingkungan, eksploitasi Hutan Bowosie untuk kepentingan bisnis pariwisata berpotensi menyebabkan bencana ekologis yang serius di masa depan.
Apalagi, dari sosialisasi virtual yang dilakukan BOP-LBF pada 17 Maret 2021, yang hanya melibatkan unsur pemerintah daerah, tampak elemen paling dominan dari bisnis yang dikembangkan di kawasan wisata buatan (hand made destination) tersebut adalah resort dan hotel. Hal ini akan semakin memperkuat potensi kerusakan lingkungan.
Warga lokal akan menjadi korban paling rentan dari semua ambisi kemajuan jangka pendek itu. Selain memperpanjang cerita pembantaian ekologis (ekolosida) di republik ini, penderitaan warga akan menjadi saksi bisu suatu ketidakadilan ekologis, yang terjadi ketika segelintir orang kuat mengaku mendapatkan keuntungan dari kerusakan ekologis yang mengorbankan banyak orang dan spesies lain.
Gemerlap bisnis pariwisata di kawasan Hutan Bowosie akan digelar di atas cerita tragis tersebut. Ini akan menjadi antiklimaks pembangunan pariwisata yang semakin gencar di daerah ini. Seiring dengan itu, citra pariwisata Labuan Bajo-Flores, yang dikenal dengan branding pariwisata berbasis ekologi dan budaya, akan semakin pudar dan dilupakan.
Cerita Kelam
Kegentingan sosial yang mencuat hari-hari ini semakin menambah cerita kelam dari Hutan Bowosie. Jauh sebelum dialihfungsikan menjadi "kawasan bukan hutan", sebagaimana tertera dalam Perpres No. 32 Tahun 2018, Pasal 25 Ayat 1 huruf a, hutan ini secara agraria telah lama menjadi wilayah konflik antara warga dan pemerintah. Warga sekitar tak henti menuntut pengakuan negara atas hak ulayat mereka di kawasan hutan ini.
Di kampung adat Nggorang (masih bagian dari kawasan perluasan Kota Labuan Bajo), misalnya, warga menganggap batas Hutan Bowosie sebenarnya adalah "Pal Belanda", yang berada di luar wilayah garapan mereka. Lahan perkebunan, bekas pemukiman, serta makam leluhur menjadi bukti klaim itu. Namun, batas yang ditentukan "Pal Pemerintah" justru mencaplok wilayah garapan mereka. Hal ini pernah menyebabkan konflik dan mengakibatkan sejumlah warga mendekam di penjara.
Senada dengan itu, di Kampung Wae Mata (salah satu zona inti Kota Labuan Bajo), warga sampai saat ini menuntut pengakuan negara atas 98 hektar lahan mereka, yang akhir-akhir ini diklaim BOP-LBF sebagai bagian dari 400 hektar lahan untuk kawasan bisnis pariwisata super premium. Beberapa kali warga mengajukan review batas hutan dan permohonan proses Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), namun hasilnya nihil.
Bahkan, bukannya merespons permohonan warga, Perpres No.32 Tahun 2018 justru menginstruksikan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup untuk mengurus perubahan status Hutan Bowosie menjadi kawasan bisnis pariwisata. Tak hanya itu, setiap perusahaan swasta yang berinvestasi di kawasan itu diberi banyak privilese, termasuk dibebaskan dari kewajiban mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL).
Lantas, di mana rasa keadilan pemerintah, ketika begitu mudah memberikan privilese kepada segelintir pemodal perampas hutan, sementara hak warga yang berkali-kali mengajukan review batas hutan dan permohonan proses TORA diabaikan?
Insentif keringanan pajak yang dianugerahkan kepada para pemodal itu juga melukai rasa keadilan pelaku bisnis pariwisata lokal di Labuan Bajo, yang de facto membangun di atas lahan sendiri dan selalu dituntut membayar pajak tepat waktu. Ini menjadi potret ketidakadilan yang sangat nyata, yang lagi-lagi menunjukkan antiklimaks pembangunan pariwisata di kota super premium ini.
Harapan
Warga lokal dan para aktivis lingkungan berharap pemerintah meninjau kembali Perpres No. 32 Tahun 2018, yang menjadi akar kegentingan sosial hari-hari ini. Selain untuk menghindari potensi bencana ekologis, hal itu urgen untuk memastikan keselamatan setiap kehidupan (manusia dan spesies lainnya) yang bergantung sepenuhnya pada kemurahan Hutan Bowosie.
Dengan jalan itu, program pembangunan nasional tak hanya bersifat berkelanjutan (sustainable), tapi juga sungguh-sungguh menjamin rasa keadilan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti sejati.
Joan Damaiko Udu aktivis sosial-kemanusiaan, tinggal di Labuan Bajo-Flores
(mmu/mmu)