Anak perempuan saya yang baru berusia delapan tahun berlama-lama mematut dirinya di depan cermin. Ia baru saja potong rambut sependek rambut ayahnya sehingga ia dan ayahnya menjadi semakin mirip saja. Setelah puas mengamati rambut barunya, ia berbalik pada saya.
"Aku jadi kayak transgender, Bun," katanya spontan.
Saya membayangkan ada banyak variasi reaksi orangtua jika mendengar anaknya berkata spontan demikian. Tapi saya ingat, pada hari itu saya tak bereaksi negatif terhadap ucapannya. Saya sedikit takjub mengapa ia mengenal istilah transgender --yang kemudian saya ingat kami memang pernah membahasnya saat menonton sebuah drama. Dan, lebih takjub lagi menyaksikan ia mengatakannya dengan netral tanpa nada prasangka.
Pada usia yang sama, saya menunjukkan ekspresi yang sebaliknya ketika menemui stimulus orientasi seksual dan ekspresi identitas seksual yang berbeda. Saya kira, sebagian besar dari kita memang tumbuh dalam iklim yang risih terhadap orang-orang yang menyerupai lawan jenisnya, apalagi menyukai sesama jenisnya. Kita lebih terbiasa memandang variasi identitas dan orientasi seksual dalam kacamata halal-haram daripada menerima seapa-adanya, menerima sebagai sebuah fakta yang nyata-nyata ada di tengah-tengah masyarakat kita.
Saya tidak mengatakan bahwa sikap risih dan tidak menerima seapa-adanya itu sebagai suatu sikap yang salah. Namun, sebagaimana pilihan-pilihan sikap pada umumnya, setiap pilihan sikap pastilah mengandung konsekuensi. Dan, konsekuensi dari sikap yang berhenti pada rasa risih itu menjebak kita dalam buaian pikiran bahwa variasi identitas dan orientasi seksual tak mungkin dan tak boleh terjadi pada keluarga kita, terutama pada anak-anak kita.
Jika anak kita laki-laki, kita yakin dia merasa laki-laki dan pasti akan menyukai perempuan. Jika anak kita perempuan, kita yakin dia merasa perempuan dan pasti akan menyukai laki-laki. Kita yakin seratus persen bahwa anak-anak kita pasti tumbuh "normal" seperti orang-orang pada umumnya. Padahal, sejatinya tak satu pun orangtua yang bisa sepenuhnya menjamin anaknya tumbuh dalam variasi seksualitas yang seperti apa.
Saya teringat pada seorang gadis remaja yang menjadi klien saya pada saat saya masih menjalani kuliah magister psikologi profesi. Ia bukan seorang gadis remaja biasa. Ia adalah seorang gadis yang sering disangka pria karena penampilannya. Dengan potongan rambut cepak, celana jins, dan kemeja lengan panjang, ia mengecoh persepsi teman-teman kuliah saya yang sempat sekilas melihatnya.
Tak sekadar ekspresi dan penampilannya saja, ia memang merasa dirinya telah berada dalam tubuh yang salah. Sederhananya, ia merasa dirinya laki-laki yang terjebak dalam tubuh perempuan. Pada suatu sesi konseling kami lima tahun silam, ada satu ucapannya yang terus melekat dalam ingatan saya sampai saat ini.
"Orang-orang bilang aku melawan kodrat, Mbak. Perempuan kok berpenampilan seperti laki-laki. Tapi menurutku orang-orang itu yang melawan kodrat. Aku merasa sebagai laki-laki ya wajar dong kalau berpenampilan seperti laki-laki, kok dipaksa-paksa berpenampilan seperti perempuan."
Jelas pernyataan itu seperti pernyataan yang mengada-ada jika saya hanya peduli pada kolom jenis kelamin dalam KTP-nya. Tapi sebagai calon psikolog profesional yang tengah belajar untuk melihat dan memahami klien sebagaimana adanya dirinya, ucapan itu lebih terdengar seperti tanda protes sekaligus keputusasaannya dengan keadaannya sendiri. Pasti sangat sulit memerankan diri yang ia rasa bukan dirinya yang sebenarnya. Dan, lebih sulit lagi untuk menampilkan diri apa adanya sesuai dengan ekspresi gender yang ia pilih di tengah-tengah penolakan lingkungan, terutama keluarga.
Saya masih ingat salah satu orangtua dari klien itu berulang kali bertanya pada saya, "Anak saya cuma gayanya aja yang kayak cowok kan, Mbak? Dia normal aja kan, Mbak?" Seketika saya sadar situasi apa yang dihadapi oleh keluarga itu. Klien saya memilih diam karena takut pengakuannya akan melukai hati kedua orangtuanya dan orangtuanya memilih diam karena terlalu takut menghadapi kenyataan yang terlalu berat untuk bisa mereka terima.
Bertahun-tahun kemudian, setelah saya menjalani karier sebagai psikolog profesional, situasi seperti di atas tidak satu atau dua kali saya temui. Menjadi psikolog yang ditempatkan di puskesmas memberi saya kesempatan untuk berinteraksi dengan para LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi HIV. Dari interaksi tersebut saya mengetahui bahwa banyak dari LSL itu yang orangtuanya tidak mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya. Bagaimana mereka memilih bersembunyi dari orang-orang terdekat, membuat saya teringat pada kata-kata Conan Edogawa, "Sesuatu yang tak terlihat bukan berarti tidak ada."
Pengalaman-pengalaman di ruang konseling bersama LSL membuat saya berpikir bahwa mendiskusikan isu identitas dan orientasi seksual dengan anak mungkin perlu dilakukan ketika anak memasuki usia remaja. Sikap tradisional kita yang risih dan antipati terhadap ekspresi identitas seksual dan orientasi seksual yang berbeda sepertinya tak banyak membantu, jika bukan kontra-produktif, dalam menghadapi isu-isu seksualitas yang mungkin dialami oleh anak-anak kita. Saya kira, setiap anak berhak atas perasaan aman untuk belajar menemukan jati diri dan menjadi dirinya sendiri di hadapan keluarganya.
Pilihan sikap seperti ini tentu bukan bermaksud untuk permisif terhadap isu variasi seksualitas yang kita anggap sensitif. Pilihan sikap seperti ini hanyalah pilihan sikap yang realistis terhadap isu-isu seksualitas yang nyata-nyata ada di sekitar kita. Saya kira, pergulatan anak dengan seksualitasnya, entah mereka homo atau hetero, adalah pergulatan yang membutuhkan pendampingan orangtua.
Pendampingan tentu bukan berarti perintah atau pemaksaan; pendampingan adalah proses membersamai orang yang kita dampingi. Beri anak kesempatan berproses untuk mendefinisikan dirinya sendiri, menimbang konsekuensi, dan membuat keputusan untuk dirinya sendiri.
Satu hal yang perlu diingat oleh orangtua, sebenci-bencinya kita terhadap orientasi seksual yang berbeda, kita tak akan pernah tega apabila di kemudian hari menemukan anak kita ternyata sendirian bergulat dengan HIV karena terbatasnya pengetahuan dan kesadaran diri sehingga alpa dalam melindungi dirinya. Situasi itu benar-benar seperti mimpi buruk, tapi nyata terjadi.
Lya Fahmi psikolog di Sleman
(mmu/mmu)