Sungguh, saya sempat terkejut membaca beberapa puisi SBY yang membicarakan kekuasaan. Bayangan saya puisi-puisi yang ditulis melulu tentang soal-soal "pelarian dari dunia kuasa yang pelik", karena menyangkut interaksi penguasa-rakyat yang bukan saja tidak mudah, tetapi rumit dan mudah memancing konflik.
Konflik internal kekuasaan, kritik kebijakan yang dinilai tidak pro rakyat, aksi-aksi demonstrasi sebagai bentuk protes, atau melebar memancing konflik horizontal sesama warganegara. Pasca memasuki ruang demokrasi yang menandai presiden dipilih langsung oleh rakyat, keterbelahan antarpendukung berefek kepada benih-benih konflik yang mudah terbakar.
SBY, mantan presiden dua periode, tentu fasih membaca dunia politik, tempat kebajikan bersama diputuskan dan dijalankan sekaligus tangan-tangan kotor tidak serta-merta bisa dihindari. Setelah tidak menjadi orang nomor satu republik, SBY tidak menyembunyikan kegelisahannya tentang kekuasaan dan politik sebagai wadahnya, rawan terhadap kebusukan yang mengintai dan masuk ke dalamnya. SBY menulis Politik (1) yang menggugah semua yang terlibat dan terimbas kekuasaan, perhatikan dan renungkan;
Kata orang politik itu buruk, jahat,
dan saling menipu
Kata yang lain politik itu baik,
tidak jahat
kekuasaan digunakan dengan bijak
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata yang lain lagi politik itu
punya dua makna
wajah baik dan wajah buruk
Engkaulah yang memilihnya
(Cikeas, April)
Puisi itu, mendeskripsikan dengan baik bahwa bonum commune, (kebaikan bersama) yang memberikan jalan kepada politik untuk mengoperasionalkannya, tetapi politik adalah tubuh yang bermuka dua (wajah baik dan wajah buruk). Di sini SBY mencoba merefleksikan kekuasaan yang pernah dalam genggamannya, ia sedang mengusik soal integritas pemimpin. Betapa pentingnya nilai-nilai rambu yang mengarahkan langka yang dituju untuk merealisasikan kebaikan bersama: hajat hidup orang banyak. Sekaligus, SBY mengingatkan dua sisi politik (kebaikan dan keburukan), tulisnya, "Engkaulah yang memilih." Maknanya bersayap, engkau bisa diartikan (penguasa mau menggunakannya seperti apa) dan rakyat (yang memilih penguasa). Sebuah perspektif yang holistik dari seorang SBY.
Kegelisahan yang Intens
Keseriusan SBY dengan nilai-nilai (batas-batas, pagar-pagar) dalam berpolitik merupakan cara pandang orang dalam mengenai kekuasaan cukup intens, karenanya mendalam. Mendalam, sebab merupakan hasil pergulatan internalisasi nilai-nilai baik-buruk yang dituangkan dalam bait-bait puisi. Intensitas itu tampak pula pada isu politik, ditulisnya sampai tiga puisi Politik (1), Politik (2), dan Politik (3). Kemudian Konstitusi, Untuk Pemimpin, Rakyat dan Pemimpin, Duniaku Bukan Duniamu, Muldadi Mencuri Mercy, dan Aku Suka Jakarta. Dalam Politik (2), SBY menuliskan ambiguitas nilai-nilai yang dikritiknya secara retoris;
Jangan bicara moral dalam poltik,
karena moral dan etika
bukan rimbanya politik
Untuk mendapatkan kekuasaan
cara apapun dihalakan
begitu hukum kekuasaan
setelah kekuasaan didapat
gunakan untuk melanggengkannya
dengan cara apapun
Kamu bisa berkuasa selamanya
dan tak mudah jatuh
kalau kekuasaanmu kuat
Ah, masak begitu politik!
(Cikeas, April 2025)
Ah masak begitu politik! Semacam sinisme, tetapi realitas politik yang tidak terbantahkan, baik terakhir mengunci tajam politik tidak harus sehina itu. Itu berlanjut dalam puisi Politik (3), begini cuplikannya:
Jalan terang maupun jalan gelap
punya ajaran dan pembenarannya
Politik baik dan politik buruk
sama peluangnya untuk sukses
Implementasi politik baik dan politik buruk yang memiliki pembenarannya dan peluang untuk sukses, bisa berkuasa terus-menerus berguna bagi hajat hidup orang banyak atau justru menindas kepentingan orang banyak, terbuka peluang yang sama dilabeli sukses. Itu yang membuat SBY nyaris frustrasi. Frustrasi karena bisa saja ia terjebak atau sengaja tenggelam dalam keburukan politik, tapi sukses (berkuasa) terus. Pada bait yang lain SBY menemukan pagar, batas, nilai yang akhirnya menolongnya;
Aku baru beranjak ketika ada
suara gaib yang dibisikkan dalam kalbuku
Kritik dan Dilukis Alam Pacitan
Puisi sederhana mengapresiasi ibukota negara berjudul Aku Suka Jakarta terasa punya konteks dengan proyek ambisius, ingat puisi di atas politik buruk pun punya pembenaran. Aku Suka Jakarta tajam mengiris perpindahan pusat pemerintahan tidak menggoreskan kata-kata penuh luka, tetapi metaforanya menyayat:
Jakarta kota tua
tapi punya legenda
dan cita-cita
Jakarta punya cerita
ketika Sukarno-Hatta
dan para pejuang dan pemuda
berkata "Tidak" kepada Belanda
karena ingin merdeka
Aku suka Jakarta
dengan segala yang ada
dan segudang nostalgia
Jakarta, 21 April 2025
SBY secara terus menerus mempertanyakan nilai-nilai, pagar-pagar, batas-batas puisi Duniaku, Bukan Duniaku adalah sebuah kehadiran diri yang dialami semua orang yang sering mengajukan dan menemukan jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan refleksi yang mengetuk batik. Saya cuplik bait pembuka dan penutup:
Aku merasa jadi orang asing
meski aku tahu
bumi terus berputar
dan dunia pun terus berputar
...
Aku benar-benar jadi orang asing,
Karena duniaku bukan duniaku
Cikeas, 20 April 2025
Terakhir, saya ingin menutup apresiasi puisi-puisi SBY dengan puisi berjudul Gunung Merapi yang ditulisnya berkaitan dengan hobi melukisnya. Saya sempat berkunjung ke museum beliau di Pacitan, sebelum dibuka resmi. Waktu itu saya dan kawan-kawan beraudiensi meminta beliau berkenan ikut berparmeran yang kami selenggarakan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Bait-bait penghujung Gunung merapi ditulis begini:
Goresan kuas di kanvasku itu
Hanyalah satu potret diri diri merapi yang abadi
Tetapi, yang lebih berarti
ketika alam yang agung itulah
yang melukis diriku, jiwaku
di tempat yang damai itu
Terimakasih, Tuhanku
Semarang, 25 April 2025
Ketika berada di Pacitan, saya ditemani kawan Andi Mallarangeng dan sengaja singgah di sudut Teluk Pacitan yang indah, dilingkungi bukit-bukit tajam. Saya terkagum-kagum sambil membayangkan kekerasan dan keindahan alam Pacitan yang membentuk karakter SBY. Ia menuliskannya, "alam yang agung itulah yang melukis diriku, jiwaku." Seperti alam Minangkabau melukis Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Soetan Sjahrir. Saya menulis puisi Teluk Pacitan sebagai penghormatan kepada alam Pacitan yang telah melukis putra terbaiknya, SBY. Begini cuplikan puisi Teluk Pacitan (2023) yang saya tulis di kota yang inspiratif itu:
menujumu dituntun jalan berkelok-kelok dipunggungi
hutan-hutan tandus menghunus ara, keras batu-batu
berkeliaran mengasah sunyi, memerangkap sunyi
di Teluk Pacitan ku berdiri tegak membaca laut
berulang-ulang air jernih yang tidak pernah surut
tebing runcing-rincing penghalang kalut
Penuh hormat dan apresiasi, dan selamat ulang tahun SBY, Jakarta 9 September 2025.
Afnan Malay, penyair dan mantan aktivis gerakan mahasiswa pencipta Sumpah Mahasiswa (1988)
Simak juga Video: AHY Ungkap Isi Obrolan Gibran dan SBY di Cikeas