Albert Einstein pernah berkata, "Hal tersulit dipahami di dunia ini adalah pajak penghasilan. Ini terlalu sulit bagi matematikawan. Ini butuh seorang filsuf." Saya tentu tidak bisa menyelami suasana kebatinan yang dihadapi Einstein --orang paling jenius di dunia-- saat mengatakan itu. Hanya saja, apakah mungkin sama dengan sulitnya saya memahami konsep pajak penghasilan baru yang diusulkan di RUU Pajak, Alternative Minimum Tax.
Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku di Indonesia saat ini adalah Wajib Pajak tidak membayar PPh bila rugi, bahkan bisa mengkompensasikan kerugiannya hingga lima tahun selanjutnya. Bagi Wajib Pajak yang laba maka perhitungan pajaknya sebesar 22 % dari laba fiskalnya. Tahun 2022 tarif pajak turun menjadi 20 %.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pajak yang sedang dibahas DPR salah satunya memunculkan skema baru yaitu Alternative Minimum Tax (AMT). Skema ini mengatur bahwa Wajib Pajak badan harus membayar PPh minimum sebesar 1 % dari omzet tahun itu. Terlepas dari Wajib Pajak tersebut rugi ataupun laba tipis. Ini batasan minimum saja. Penghitungan akan switch ke tarif semula yaitu 22 % dari laba pajak bila dari perhitungan berdasarkan tarif didapat hasil lebih besar.
Latar belakang dari usulan AMT ini menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah karena terdapat tren peningkatan jumlah Wajib Pajak badan yang rugi sehingga tidak membayar pajak atau membayar pajak dengan jumlah sangat kecil. Namun demikian Wajib Pajak badan tersebut segar bugar dan tetap dapat beroperasi atau mengembangkan usaha di Indonesia.
Berlandaskan hal tersebut maka DJP mengusulkan adanya pengaturan untuk menangkal penghindaran pajak. Pengaturan ini juga untuk memberikan rasa keadilan kepada Wajib Pajak yang patuh dalam menghitung pajak terutang.
Konsideran AMT yang dikemukakan DJP di atas cukup menarik karena highlight-nya adalah AMT dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada WP Patuh. Dan bahwa WP rugi atau membayar pajak kecil diindikasi melakukan penghindaran pajak.
Menganggap WP yang rugi itu melakukan penghindaran pajak jelas berlebihan. DJP punya seksi pemeriksaan yang selama ini tidak pernah kehilangan wibawanya. Dan prosedur untuk wajib pajak yang rugi dari dulu sampai sekarang masih sama, diperiksa. Maka kenapa DJP menjadi sangat tidak percaya diri seolah tidak dapat mengidentifikasikan dengan baik mana Wajib Pajak yang benar-benar rugi atau dan mana yang aggressive tax planning?
DJP juga menganggap badan usaha yang membukukan penghasilan dari kegiatan bisnisnya, namun berkontribusi sangat kecil terhadap pembayaran pajak harus didorong berpartisipasi dalam penerimaan negara melalui AMT. Di sini perlu kita cermati bahwa WP Badan yang rugi bukanlah tidak ada kontribusi dalam penerimaan negara.
Perusahaan rugi hanya tidak membayar pajak penghasilan. Namun pajak lainnya seperti Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Reklame, Pajak Bumi Bangunan, dan kewajiban lainnya tetap dibayar lunas. Disamping itu perusahaan rugi juga tetap membayar gaji karyawannya. Juga memberikan daya ungkit untuk vendor-vendornya serta masyarakat sekitar. Kontribusinya dalam ekonomi tidak sedikit.
Baru saja UU Cipta Kerja disahkan. Arahnya seingat saya adalah membuka kemudahan berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Penerapan AMT dengan waktu yang tidak terlalu jauh dari UU Cipta Kerja mengesankan kita berada dalam situasi demo tari poco-poco yang membingungkan. Bagaimana kita dapat menjaring investor bila berusaha di negeri ini dibuat mudah tetapi ada syarat dan ketentuan berlaku yaitu harus laba minimal 5 % dari omzet sehingga pajaknya 1% dari omzet.
Amerika adalah salah satu contoh negara yang menerapkan AMT. Namun kriterianya adalah Wajib Pajak orang pribadi berpenghasilan tinggi atau perusahaan multinasional yang beroperasi di low tax jurisdiction. Filipina, salah satu tetangga dekat kita juga menerapkan AMT. Namun penerapannya pada saat WP Badan beroperasi pada tahun ke empat.
Bandingkan dengan Indonesia. Kriteria AMT di Indonesia adalah Wajib Pajak Badan yang rugi atau laba tipis, itu saja. Perkecualian hanya pada wajib pajak yang belum berproduksi komersial, atau yang secara natural mengalami kerugian. Natural di sini lebih kepada force majeur karena contohnya adalah kondisi COVID-19. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan AMT di Indonesia sangatlah luas. Tidak ada perkecualian untuk jenis usaha, lama beroperasi, lamanya rugi.
Mengenai jenis usaha, kita juga harus memperhatikan ada usaha yang omzetnya tinggi tetapi marginnya tipis. Contohnya dari bisnis retail, pulsa, money changer, manufaktur tertentu dan banyak lagi. Bahkan juga terdapat perusahaan yang perlu waktu bertahun-tahun untuk penetrasi pasar.
Penghindaran pajak yang coba di-counter DJP dengan AMT ini juga perlu dicermati. Bagaimana dengan perusahaan yang seharusnya membayar pajak lebih tinggi tetapi membayar sesuai AMT saja? Mengingat DJP sendiri seolah mengakui bahwa tidak bisa mengukur apakah penghitungan wajib pajak sudah benar.
Pajak Penghasilan secara umum dihitung dari labanya. Menghitung pajak penghasilan dari omzet berarti tidak mengakui adanya biaya yang ditanggung Wajib Pajak hingga menyebabkan rugi atau laba tipis itu itu. Beberapa pajak penghasilan memang dihitung langsung sebesar persentase dari omzet (pajak penghasilan bersifat final). Jasa konstruksi salah satunya yang dikenakan skema itu. Tarifnya 10% dari omzet. Secara asbabun nuzul pun, pengenaan tarif final pada jasa konstruksi ini memang adalah usulan dari asosiasi dengan tujuan kesederhanaan penghitungan.
PP 46 pernah mengenakan tarif 1% dari omzet, tetapi peraturan ini dikhususkan untuk UMKM dengan threshold omzet Rp 4,8 miliar. Pada medio 2018, PP 46 dicabut dan diganti dengan PP 23 yang memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk memilih menggunakan tarif umum bila dirasa usaha masih rugi.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 (4) berbunyi, "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional."
Maka cukup jelas bahwa UUD 1945 mensyaratkan unsur keadilan dan berkelanjutan sebagai dasar penyelenggaraan perekonomian nasional. Adil dan sustain sangat diutamakan.
Penerapan AMT tampaknya juga tidak cukup memenuhi asas pemungutan pajak. Di antaranya yaitu asas equaliy, bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak; asas daya pikul, bahwa besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan wajib pajak; asas ekonomi, bahwa pajak tidak boleh memberatkan masyarakat dan membuat ekonomi secara umum merosot.
Saya kira masih banyak penjelasan yang diperlukan masyarakat luas mengenai AMT ini. Masih banyak bolong-bolong pemahaman yang kita pertanyakan.
Ataukah memang untuk memahami AMT ini kita perlu penjelasan dari seorang filsuf?
Rina Anita Indiana praktisi perpajakan tinggal di Surabaya
(mmu/mmu)