Kolom

Angka Kematian Covid dan Keterbukaan Data

Bagus Nuari Harmawan - detikNews
Rabu, 25 Agu 2021 15:10 WIB
Foto: M Risyal Hidayat/Antara
Jakarta -

Kebijakan kontroversial dibuat pemerintah dengan tidak memakai angka kematian dalam indikator penanganan Covid-19. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan beralasan bahwa tidak dipakainnya indikator kematian karena terdapat masalah dalam melakukan pendataan kematian serta terdapat 26 kota/kabupaten yang turun dari level 4 ke level 3.

Keputusan pemerintah yang tidak memakai angka kematian memunculkan kesan bahwa pengelolaan data Covid-19 masih carut marut dan tidak terintegrasi. Padahal Indonesia menghadapi permasalahan serius mengenai lonjakan kematian selama ledakan kasus beberapa waktu terakhir.

Angka kematian akibat Covid-19 dalam satu pekan terakhir memperlihatkan jumlah yang mengkhawatirkan yaitu sebesar 11.300 jiwa. Dengan kuantitas ini, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kematian terbesar di dunia. Angka kematian yang tinggi jika tidak disikapi secara serius atau bahkan malah dihilangkan akan memberikan dampak negatif dalam penanganan pandemi.

Epidemiolog Dicky Budiman menjelaskan bahwa kematian menjadi ukuran vital dalam memberikan informasi pola penyakit sehingga berdampak pada kematian. Karakteristik kematian juga mendeskripsikan perbedaan status kesehatan, acuan untuk perencanaan, pembuatan hingga evaluasi kebijakan.

Krisis Data

Apa yang terjadi dengan sikap pemerintah dengan mengeliminasi data kematian bukan tanpa sebab. Kegagapan pemerintah menyikapi data kematian karena Covid-19 bisa kita lihat lacak dari sengkarutnya pencatatan di berbagai instansi. Sampai dengan Juli, tim LaporCovid-19 menemukan perbedaan rekap data jumlah kematian akibat Covid-19 antara data yang bersumber dari provinsi dan data yang dicantumkan oleh Kemenkes.

Perbedaan pencatatan data tersebut ditemukan di beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Dari data ini Jawa Tengah menjadi provinsi yang memiliki perbedaan pencatatan kematian yang paling besar; situs provinsi mencatat 26.943 kematian, sedangkan website Kemenkes hanya menyebutkan 16.212. Jawa Barat juga memperlihatkan selisih pencatatan yang lumayan besar; situs provinsi mencatat 14.138 kematian dan situs Kemenkes hanya mencatat 7.908 kematian.

Perbedaan pencatatan kematian Covid-19 juga terjadi pada data yang dimiliki oleh kabupaten/kota dengan provinsi. Salah satu contoh kasus amburadulnya data kematian terlihat dari temuan LaporCovid-19 yang menerima data 26 kematian di Kota Malang pada 20 juli 2021. Tetapi, pada tanggal yang sama pemerintah provinsi Jawa Timur melalui Dinas Komunikasi dan Informasi tidak memasukkan data kematian tersebut ke dalam website resmi.

Buruknya perekaman dan pengelolaan data memang menjadi persoalan utama yang menyebabkan pemerintah gagap dalam menentukan poin kebijakan hingga mengeliminasi angka kematian. Riset Sherah Kurnia, Anis Fuad, dan beberapa kolega (2021) di Provinsi Yogyakarta mengkonfirmasi penyebab buruknya perekaman dan pengelolaan data. Riset ini menjawab pertanyaan, mengapa perekaman dan pengelolaan data dalam penanganan Covid-19 bermasalah?

Jawabanya. Pertama, sistem aplikasi pengumpulan data yang terpisah-pisah antara kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Kedua, sistem yang belum terintegrasi dan tersebar di berbagai instansi menyebabkan potensi untuk memasukkan data beberapa kali sehingga berpotensi memunculkan kesalahan. Ketiga, kekurangan sumber daya manusia (SDM).

Prinsip Terbuka

Melihat permasalahan tata kelola data yang berimplikasi pada carut-marutnya data kematian secara cepat harus direspons oleh pemerintah. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah mengubah "pola pikir" tata kelola pemerintahan yang cenderung eksklusif menjadi pemerintah yang terbuka dalam mengelola dan menampilkan data.

Secara konseptual, pemerintahan terbuka hadir untuk memberikan keterbukaan dan informasi interaktif kepada warga negarannya (Meijer et al., 2012). Pemerintahan terbuka dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi hingga terlaksananya pemerintahan yang partisipatif (Attard, 2015).

Langkah pertama yang perlu dilakukan pemerintah untuk menerapkan prinsip pemerintahan terbuka adalah membuat sebuah portal data tunggal yang terintegrasi. Pembentukan portal data tunggal khusus memperlihatkan perkembangan Covid-19 di Indonesia dari waktu ke waktu. Portal data tunggal Covid-19 menjadi penting untuk menampung, mengolah, dan mempublikasikan data yang terpercaya, detail, dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat.

Beragam konten dapat dimasukkan mulai jumlah perkembangan kasus tiap kota/kabupaten, menampilkan profil demografi dari jenis kelamin, usia maupun riwayat perjalanan (Agahari, 2020). Selain itu, portal ini juga harus melakukan pendataan terkait dengan mortalitas akibat virus Covid-19.

Poin terpenting dari hadirnya portal data tunggal Covid-19 adalah hilangnya hierarki pelaporan data kasus aktif dan kematian yang selama ini cenderung tidak transparan. Sistem desentralisasi membuat masing-masing daerah memiliki aplikasi dan ketika dikumpulkan dalam catatan skala nasional memunculkan data yang tidak akurat.

Portal data tunggal diharapkan mampu menyederhanakan dan memvalidasi pencatatan data Covid-19; pihak operator data atau tenaga kesehatan di rumah sakit maupun puskesmas bisa langsung melaporkan perkembangan data dan tercatat melalui sistem yang terkoneksi secara nasional. Tanggung jawab portal data tunggal bisa berada pada lingkup Satgas Pencegahan Covid-19 pusat, Kementerian Kesehatan, ataupun diintegrasikan dengan portal Satu Data (https://data.go.id/).

Kedua, permasalahan pengelolaan data Covid-19 yang terus berlarut seharusnya membuat pemerintah mawas diri akan kelemahan mereka. Pemerintah harus mulai mengubah sikap dengan menempuh jalan kolaborasi dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam tata kelola data. Indonesia memiliki beberapa komunitas yang bergelut dan mengawal perkembangan data penyebaran virus Covid-19 hingga membuka saluran pengaduan warga.

Komunitas tersebut terdiri atas praktisi kesehatan, akademisi, dan beberapa profesional seperti LaporCovid-19 dan KawalCovid-19. Pemerintah seharusnya mencoba untuk menambal kelemahan data yang mereka miliki dengan melakukan konfirmasi dan upaya validasi data dengan data yang dimiliki oleh beberapa komunitas tersebut.

Tujuan dari kerja sama pemerintah dengan LaporCovid-19 dan KawalCovid-19 adalah hadirnya data yang terpercaya dan komprehensif. Terlebih data hasil dari kolaborasi ini dapat menjadi bahan yang valid dalam merumuskan kebijakan pencegahan Covid-19 hingga menjadi bahan edukasi untuk masyarakat.

Bagus Nuari Harmawan dosen Administrasi Publik UPN "Veteran" Jawa Timur




(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork