Mengemukanya polemik terkait alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui mekanisme Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) setidaknya menunjukkan bahwa KPK "dicintai" banyak orang. Baik pihak pro maupun kontra, sama-sama menunjukkan "rasa cinta" kepada KPK meski dalam sudut pandang yang berbeda.
Pihak yang pro TWK menjustifikasi bahwa alih status melalui TWK akan semakin menguatkan KPK melalui penguatan status legal disertai penebalan semangat nasionalisme. Selain itu, alih status pegawai menjadi ASN pun diklaim tidak serta-merta menghilangkan independensi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi nomor wahid di negeri ini. Justifikasi demikian tidak lain merupakan ekspresi kecintaan kepada KPK.
Di sisi lain, pihak kontra menganggap bahwa alih status pegawai dikhawatirkan dapat memperlemah KPK. Buktinya, proses alih status melalui TWK menghasilkan setidaknya 51 nama pegawai yang diklaim tidak bisa lagi melanjutkan perjuangan di KPK. Sementara 24 orang lainnya masih diberi "kesempatan" dengan syarat mengikuti sejumlah mekanisme pembinaan. Kekhawatiran demikian pun merupakan wujud cinta yang mendalam kepada KPK.
Sayangnya, di tengah makin memanasnya polemik terkait hasil TWK, mulai muncul narasi yang menyuarakan bahwa saat ini "KPK sudah mati". Narasi demikian merupakan kulminasi ekspresi kekecewaan yang notabene lahir dari "rasa cinta" yang sangat dalam kepada KPK. Tetapi, narasi demikian memiliki bahaya laten yang menurut saya justru bisa mewujudkan "kematian" KPK itu sendiri tanpa disadari.
Melemahkan Semangat
Setidaknya ada dua konsekuensi negatif apabila narasi "KPK sudah mati" terus-terusan digaungkan. Pertama, melemahkan semangat juang para pegawai yang tetap bertahan untuk mengabdi di KPK.
Mari kita bayangkan posisi mereka. Selama bertahun-tahun, mereka bekerja tanpa kenal lelah untuk memberangus berbagai tindak pidana korupsi. Setelah mengikuti berbagai proses termasuk TWK, mereka dinyatakan berhak untuk terus mengabdi di KPK.
Namun, di saat yang sama ada sebagian rekan mereka yang dinyatakan tidak lolos tes tersebut. Apakah mereka sedih? Sudah barang pasti. Namun, pemberantasan korupsi oleh KPK dengan mereka sebagai motornya harus terus berjalan. Bahkan kondisi demikian menuntut mereka untuk bekerja ekstra guna menjaga kualitas kinerja KPK.
Tetapi, bagaimana jadinya bila semangat yang menggebu-gebu tersebut malah berhadapan dengan sentimen negatif yang menganggap "KPK sudah mati"? Apabila saya berada di posisi mereka, tentu saja saya akan sedih bahkan kehilangan semangat juang. Narasi "KPK sudah mati" setidaknya telah memberikan sinyal bahwa apa yang akan mereka kerjakan tidak mendapat "pengakuan" yang layak.
Di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa "pengakuan" dapat menjadi salah satu motif terbesar seseorang untuk bekerja secara maksimal. Dengan kata lain, meremehkan hasil kerja seseorang dapat berdampak negatif terhadap menurunnya semangat dan motivasi kerja.
Sayangnya, narasi "KPK sudah mati" sarat dengan makna "meremehkan". Narasi tersebut juga seolah-olah mengibaratkan ada atau tidak ada KPK sama saja, fungsi pemberantasan korupsi yang dulu nomor wahid sekarang tidak ada artinya.
Kekhawatiran serupa pun sepertinya disadari juga oleh para pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos TWK. Sepanjang apa yang saya amati, mereka yang tidak lolos TWK sama sekali tidak pernah menggunakan narasi "KPK sudah mati" dalam berbagai protes yang disuarakan. Mereka pasti sadar betul bahwa moril kawan seperjuangan mereka yang bertahan di KPK harus tetap dijaga khususnya dalam masa-masa seperti ini.
Meruntuhkan Kepercayaan Publik
Tidak dipungkiri, kredibilitas KPK di mata publik saat ini tengah diuji. Bahkan sebelum ramai polemik alih status pegawai, tingkat kepercayaan publik terhadap KPK cenderung menurun. Sebut saja survei lembaga Indikator Politik Indonesia yang menyebutkan tingkat kepercayaan KPK per Juli 2020 sebesar 74,7%, turun dari posisi Februari 2020 sebesar 81,3%.
Sementara pada November 2020, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait kinerja lembaga dalam mengawasi bantuan penanganan Covid-19. Hasilnya, KPK "hanya" berada di urutan ketujuh yang dipercaya responden dengan hasil sangat percaya 7% dan percaya 60%.
Tingkat kepercayaan publik terhadap KPK bisa jadi akan semakin terkikis seiring dengan masifnya penyebaran narasi "KPK sudah mati" ataupun narasi-narasi yang sejenis. Tidak bisa dipungkiri, narasi "KPK sudah mati" mengandung pesan yang seolah-olah menggambarkan KPK sudah tidak bisa kerja lagi. Kan sudah "mati".
Hal ini pada akhirnya dapat membuat publik secara otomatis mendiskreditkan atau setidaknya "meremehkan" hasil kinerja KPK ke depannya. Bisa jadi, suatu saat di masa depan, ketika anggota KPK berhasil melakukan OTT terhadap seorang koruptor, akan muncul opini-opini dari publik yang tidak menghargai hasil kerja tersebut. Kredibilitas KPK pun hancur lebur.
Apabila publik selaku "klien" utama KPK sudah tidak lagi memberikan kepercayaan, lantas untuk apa KPK tetap bertahan? Kalau sudah demikian, ya lebih baik KPK dibubarkan saja. Nasib pegawainya? Pindahkan saja ke lembaga lain, toh sudah jadi ASN.
Benar-Benar "Membunuh"
Hilangnya semangat juang para pegawai KPK, ditambah dengan runtuhnya kepercayaan publik, besar kemungkinannya untuk benar-benar "membunuh" KPK. Ironinya, munculnya kombinasi demikian tidak terlepas dari narasi "KPK sudah mati" yang banyak diembuskan oleh orang-orang yang saya yakini memang mencintai KPK.
Pada akhirnya, jangan sampai kesalahan kita dalam mengekspresikan kecintaan justru berbuah "kematian" yang sebenarnya pada KPK. Apabila terjadi demikian, maka yang akan mengalami kerugian terbesar tentu saja adalah rakyat Indonesia.
Jauhari jurnalis
(mmu/mmu)