Ibarat air panas, setiap manusia juga memiliki titik jenuhnya. Ketika sampai pada titik jenuh, maka perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Perubahan bisa terjadi dari berbagai aspek, salah satunya perubahan atas kepercayaan. Kepercayaan dapat ditinjau dalam dua bentuk, yakni secara individu dan kolektif (kelompok). Dalam bentuk individu, domain kepercayaan terbatas pada wilayah psikologis yakni hubungan individu dengan individu lainnya.
Sementara dalam bentuk kelompok, domain kepercayaan adalah hubungan kelompok dengan kelompok lain. Kepercayaan menurut Park and Blenkinsopp (2011) didefinisikan sebagai penilaian kolektif dari satu kelompok atas kelompok lainnya bahwa kelompok tersebut akan bertindak jujur, dapat memenuhi komitmennya dan tidak akan merugikan kelompok lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya suatu kepercayaan ditentukan oleh realisasi dari harapan dan keuntungan bersama.
Dalam konteks bernegara, kepercayaan merupakan fondasi dasar dalam mensukseskan roda pemerintahan. Kepercayaan dalam roda pemerintahan sederhananya melibatkan pemerintah dengan masyarakat. Sebagai domain terpenting dalam sebuah negara, masyarakat memiliki peranan penting dalam menjaga keutuhan dan stabilitas negara. Sebab itu, pemerintah tidak boleh memandang sebelah mata efek kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai satu kesatuan, masyarakat dan pemerintah saling berhubungan. Maka, di sini perlu adanya kepercayaan satu sama lain. Jika salah satu pihak tidak menaruh kepercayaan atau bahkan saling menyalahkan, perjalanan roda pemerintahan juga akan terhambat. Sebagai konsekuensi logis dari hilangnya kepercayaan ialah keraguan dan munculnya defend mechanism antara keduanya.
Apalagi, jika dihadapkan dengan realitas di masa pandemi ini, apakah mayoritas masyarakat masih menaruh kepercayaan terhadap pemerintah atau justru sebaliknya? Mari kita pikirkan bersama.
Tak Kunjung Usai
Perihal pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai, terhitung sejak mulai adanya mitos jika Indonesia kebal virus, hal tersebut menimbulkan beragam respons dari masyarakat. Namun, mitos ini kian runtuh ketika jumlah positif Covid-19 mengalami peningkatan. Pada 12 April 2020 kasus positif covid-19 sekitar 4.000-an. Lalu pemerintah, khususnya di DKI Jakarta menerapkan PSBB dari 10 April hingga 4 Juni 2020.
Meski telah dilakukan PSBB, khususnya di DKI Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, tetapi berita baik tak kunjung datang. Pada 14 Juni 2020 kasus Covid-19 mengalami peningkatan sekitar 38.000-an, dan terus mengalami peningkatan hingga 172.000-an per 30 Agustus. Kasus tersebut terus mengalami peningkatan hingga menyentuh angka 406.000-an pada September, dan 927.000-an pada Desember.
Jika dihitung, pandemi ini sudah bermasa satu tahun. Namun, hingga Januari 2021 ini, kasus Covid-19 masih mengalami peningkatan. Padahal sederet kebijakan dari pemerintah telah kita jumpai, misalnya stimulus perekonomian, sekolah daring, pembatasan sosial berskala besar, larangan mudik, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat, dan di bidang Kesehatan adanya alat pendeteksi Covid-19 seperti rapid test, swab test, rapid anti gen hingga vaksinani, yang hingga kini jadi perdebatan di kalangan masyarakat bahkan di kalangan elite pejabat sendiri.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana "sebenarnya" kebijakan yang sudah diterapkan pemerintah selama satu tahun ini? Karena, realitas yang terjadi angka kasus peningkatan Covid-19 masih bertambah, meski banyak kebijakan yang dikeluarkan, bahkan pandemi ini sudah bermasa satu tahun.
Kepercayaan Masyarakat
Jika berbicara mengenai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, bisa dilihat dari respons masyarakat Indonesia terhadap pandemi Covid hingga respons terhadap pemerintah itu sendiri. Menurut survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis September 2020 lalu, kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi dalam menangani masalah pandemi Covid-19 berada di angka 60%. Hal ini menunjukkan masyarakat masih menaruh harapan terhadap pemerintah dalam menangani pandemi ini.
Meski demikian, angka tingkat kepercayaan bisa menurun sewaktu-waktu. Di mana, salah satu penyebabnya ialah kejenuhan masyarakat. Kejenuhan ini bisa muncul karena adanya tindakan berulang, ketidakbergairahan, dan rasa lelah menunggu. Jika melihat realitas pandemi pada 2021, tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa masyarakat sudah mulai jenuh dengan kondisi sekarang.
Hal tersebut terjadi karena beberapa hal. Pertama, dimulai dari tingkat ketakutan masyarakat mulai menurun, sebagai buktinya sebagian masyarakat melanggar protokol kesehatan meski sudah ada pengetatan dari pemerintah. Kedua, karena amunisi (tabungan dan penghasilan) mulai menurun, otomatis daya serap belanja negara juga mengalami penurunan.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik, ekonomi di Indonesia mengalami resesi; pertumbuhan ekonomi minus 5,32% pada kuartal II, dan minus 3,49% pada kuartal III - 2020. Ketiga, pemerintah yang kurang solid dalam mengawal kebijakan. Meski media informasi terbuka lebar, namun kesolidan pemerintah juga menjadi pertimbangan masyarakat untuk menaruh kepercayaan terhadap pengambil kebijakan.
Keempat, kebijakan selama masa pandemi yang banyak menuai kontroversi, misalnya baru-baru ini terjadi pro-kontra terhadap vaksinasi. Kelima, kurang mampunya media pemerintah dalam meng-counter isu hoax yang berkembang. Keenam, langkah politik pemerintah yang terkesan kurang fokus dengan kebutuhan masyarakat di saat pandemi, seperti pengesahan UU Cipta Kerja, UU KPK, pembubaran FPI, dan lain sebagainya. Sehingga, menimbulkan efek demonstrasi dan kerumunan.
Ketujuh, dominasi informasi penyebaran Covid-19 yang mungkin tidak relevan lagi di media sosial meski angka penyebaran Covid-19 bertambah. Kedelapan, kebosanan masyarakat berdiam diri di rumah, bahkan hingga muncul cuitan di dunia maya "keluar rumah mati, tidak keluar rumah juga mati." Ironis, bukan?
Memang belum ada survei yang mengukur terkait kejenuhan masyarakat terhadap pemerintah, namun beberapa indikator di atas bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam merespons kejenuhan masyarakat, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tidak menurun, tetapi justru semakin berkembang. Karena, tingkat kepercayaan ini juga turut serta, dalam merespon kebijakan yang diterapkan pemerintah.
Bagi saya, solusi yang saat ini bisa diambil oleh pemerintah adalah mempercepat vaksinasi bagi yang berhak divaksin, dengan metode dan langkah persuasif tanpa paksaan agar tidak menimbulkan reaksi berlebihan. Kedua, meminimalisasi pemberitaan di media sosial terkait kasus positif Covid-19, fokus terhadap penyebaran informasi kesembuhan penderita Covid-19.
Ketiga, minimalisasi pengambilan kebijakan yang memungkinkan munculnya reaksi berlebihan di masyarakat. Keempat, memperbaiki citra diri di media maya maupun media nyata. Kelima, memaksimalkan peran BUMN dalam mengakomodasi pekerja yang ter-PHK. Akhir kata, banyak cara untuk meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat, namun kesempatan kedua tidak semudah kesempatan pertama.
Ahmad Awaluddin Aras mahasiswa Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia