Padahal, tujuan saya cuma satu: saya mau mencari Taliban!
***
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jogja memang gila. Aksi kemarin itu sungguh luar biasa. Saya tidak membayangkan sebelumnya bahwa massa yang didominasi mahasiswa akan sebesar ini. Dan ingat, massa sebesar ini rentan ditunggangi! Siapa lagi penunggangnya kalau bukan Taliban dan "kadal gurun"?
Sejak berangkat dari rumah, saya sudah menyiapkan diri untuk itu. Saya menenteng kamera. Kartu memori di dalamnya nanti pasti akan penuh dengan penampakan sosok-sosok yang dituduh sebagai Taliban itu. Sip! Tak bakal meleset!
Masuk akal sekali, karena memang selama ini para so-called Taliban sangat gencar melawan rezim ini. Ketika aksi massa digelar di mana-mana, dengan momen menjelang pelantikan presiden pula, jelas kepentingan itu akan nyambung. Aksi ini akan jadi kendaraan gratis untuk mereka, atau bahkan mereka sendiri yang turut merancangnya. Masuk akal sekali, bukan?
Pelan-pelan, saya pun mendekat ke pusat titik didih aksi massa. Di mana Taliban? Di mana Taliban?
***
Namun, saya mulai kecewa. Di mana-mana yang tampak hanya para mahasiswa. Mereka memakai jas almamater masing-masing. Mulai warna biru muda, biru donker, hijau, hingga merah maroon. Beberapa kelompok anak muda memang tidak memakai kostum kampus mereka. Kemungkinan besar karena rektor-rektor mereka tidak memberikan restu, bahkan menolak aksi itu.
Lalu poster-poster. Saya mencermati poster demi poster. Ada yang dicetak dengan rapi, banyak pula yang dibikin ala kadarnya. Saya melotot mencermati satu demi satu, dengan kata-kata kunci yang sudah saya kira-kira: "khilafah", atau "syariat", atau "thoghut".
Tapi sial. Sampai ratusan langkah saya masuk ke dalam kerumunan jejalan manusia, tak satu pun kata kunci itu muncul. Wah, ini. Nggak bener ini. Lalu bagaimana nanti saya akan bisa mengunggah puluhan foto yang memunculkan penampakan para Taliban? Kapan viralnya? Sungguh mengecewakan.
Atau, ah iya! Pasti mereka berkamuflase! Demi menyembunyikan diri, gampang saja kata-kata kunci itu tidak ditulis dengan tegas di papan-papan yang mereka bawa.
Maka, saya pun berusaha mengamati sosok-sosok dengan pakaian yang identik dengan para so called Taliban. Mereka pasti akan bergerombol, dan dengan mencolok membawa penampilan yang khas.
Tapi lagi-lagi saya kecewa dibuatnya. Tak ada gerombolan-gerombolan seperti yang saya asumsikan itu.
"Lhooo namanya kamuflase ya jangan mencari gerombolan, Bung! Mereka pasti menyebar dan menyusup di tengah-tengah massa!" kata sebuah suara. Saya juga tak tahu itu suara siapa. Atau suara apa.
Saya abaikan suara itu. Sebab belasan tahun silam saya sendiri punya pengalaman lucu.
Alkisah, waktu itu selama beberapa tahun saya bergabung dengan salah satu kelompok yang belakangan dituding oleh para "bajer" sebagai Taliban. Nah, suatu kali, kami akan menggelar aksi. Aksi itu membawa satu isu umum, bukan isu spesifik yang berbau agama.
Maka, murobbi alias guru kami berpesan, "Besok pagi kita berkumpul di Titik Nol, dan samarkan identitas kalian. Jangan membawa bendera kita, atau simbol-simbol kita. Jangan pakai kopiah, pakai saja kaos merah-merah, yang ada gambar Che Guevara-nya pun okelah."
Esok paginya, dengan mantap kami berangkat. Jelas, dengan strategi menyembunyikan identitas seperti itu, publik tak akan tahu bahwa kami dari kelompok anu. Bisa-bisa kami dikira salah satu dari kelompok-kelompok kiri nan progresif-progresif itu. Yes!
Hingga akhirnya kami semua berkumpul di Titik Nol Yogyakarta. Ratusan orang tumpah ruah di sana. Ramai sekali. Sangat membanggakan.
Tapi, kebanggaan saya tak berlangsung lama. Saya melongo seketika.
Ya, di kumpulan bagian barat, para pemuda berdiri memegang berlembar-lembar poster dan spanduk. Muka mereka ada yang dicoreng-moreng, sebagian dengan kaos merah-merah sebagaimana komando sebelumnya. Tampak sangat...hmm... sekuler.
Tapi, di blok sebelah timur, para pemudi tetap saja... bergamis dan berjilbab panjang! Oh iya ya! Kok baru terpikir? Mana bisa kostum itu disamarkan? Masa mau ganti pakai baju-baju pendek? Mustahil, karena ini soal ideologi! Belum lagi, mereka tidak mungkin bercampur baur dengan kelompok para pemuda. Itu terlarang. Dosa.
Akhirnya, sia-sia sudah penyamaran kami. Tak ada identitas yang berhasil kami tutup-tutupi. Yang ada malah wajah-wajah penonton aksi yang tersenyum geli. Hihihi.
Dengan bekal pengalaman masa lalu itulah, saya di Gejayan kembali memastikan. Saya melanjutkan langkah kaki, menyusuri tumpahan massa aksi. Dari sisi barat di depan UNY, lalu utara arah Jalan Lingkar, lalu selatan arah Pasar Demangan, dan ternyata tak ada orang-orang dengan penampakan sebagaimana diduga sebelumnya.
Tak ada Taliban di Gejayan. Ini fakta yang sungguh mengecewakan.
***
Saya melanjutkan blusukan saya. Sebagai pemuja Presiden, tentu saya harus menjalankan ritual blusukan ini. Lagi-lagi, timbunan massa itu saya tembus sedikit demi sedikit. Tidak mudah buat yang belum terbiasa. Tapi saya tahu caranya.
Ini teknik gampang, sebagaimana saya sebut di depan. Bawalah kamera dengan lensa panjang. Semua peserta aksi ingin diliput, bahkan mereka akan bergembira kalau wajah mereka muncul di media. Saat Anda berjalan dengan mengangkat kamera, mereka akan dengan senang hati bergeser ke kanan, atau ke kiri. Maka, kamera adalah alat penembus massa yang efektif. Tak bedanya dengan ketika Anda ingin menengok kawan yang tengah opname di rumah sakit, tapi jam kunjung sudah habis. Bawalah tikar, atau termos kosong. Niscaya Anda akan diperbolehkan masuk.
Ah, lupakan soal kamera dan termos. Kita kembali ke kerumunan massa. Karena para Taliban tak saya temukan, saya menjalankan rencana B.
Ini massa yang sangat besar. Puluhan ribu orang membanjiri jalanan di utara, selatan, dan barat lampu merah Colombo. Kalau tidak ditunggangi Taliban, massa sebesar ini pasti sangat menarik untuk mainan oposisi. Maka, pasti ada satu tujuan lain mereka selain talibanisasi, yaitu tuntutan melengserkan Jokowi. Pasti!
Mata saya yang setajam mulut saya ini saya pasang lagi. Beberapa kata kunci saya cari-cari lagi. "Turunkan Jokowi", "Lengserkan Jokowi", dan semacamnya.
Tapi untuk ke sekian kalinya saya kecewa. Kalaulah saya melihat nama Jokowi disebut-sebut, maksimal cuma bernada "Jokowi, Hentikan Kebakaran Hutan!". Atau "Jokowi, Stop Pelanggaran HAM di Papua!". Kira-kira begitu. Itu pun tidak banyak.
Yang banyak, dan mendominasi hampir semua nada kalimat di poster-poster, adalah tuntutan penetapan segera RUU ini-itu, juga pembatalan RUU yang ini dan yang itu. Selebihnya, nada yang sangat dominan adalah serangan habis-habisan kepada para anggota DPR. "Dewan Penipu Rakyat", "Dewan Perwakilan Ramutu", bahkan hingga ke umpatan-umpatan kasar kepada para anggota legislatif kita itu.
Saya benar-benar tidak menemukan tuntutan agar Jokowi turun, atau agar pelantikannya nanti dibatalkan. Saya kecewa. Sangat kecewa. Saya pun melangkah pulang dengan perasaan sia-sia.
***
Sambil berjalan gontai, terlintas di benak saya wajah Mbak Mulan Jameela. Dia akan segera duduk di kursi nyaman di Senayan sana. Sepertinya, Mbak Mulan pula nantinya yang akan dihadapi oleh jutaan mahasiswa.
Iqbal Aji Daryono esais, tinggal di Bantul
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini