Makna Nobel Perdamaian bagi Penyintas Kekerasan Seksual
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Makna Nobel Perdamaian bagi Penyintas Kekerasan Seksual

Senin, 08 Okt 2018 15:16 WIB
Bagong Suyanto
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Nadia Murad (Foto: BBC World)
Jakarta - Nobel Perdamaian 2018 dianugerahkan kepada Nadia Murad Basee Taha dan Denis Mukwege -seorang dokter dari Kongo yang membantu korban kekerasan seksual di negaranya. Sedangkan Nadia Murad adalah seorang perempuan Yazidi dari daerah Irak Utara, sosok penyintas yang sebelumnya merupakan korban trafficking dan tindak kekerasan seksual paling brutal di abad posmodern ini.

Nadia Murad memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian karena perjuangannya dalam mengungkap dan melawan dampak kekerasan seksual dalam perang dan konflik bersenjata. Pengalaman traumatik menjadi budak seks yang dilakukan ISIS tak membuat Nadia Murad hancur dalam penderitaannya. Petaka yang dialaminya selama berbulan-bulan, diperlakukan kasar oleh ISIS, justru mendorong perempuan muda yang tabah ini, menjadi modal untuk memperjuangkan nasib sesamanya agar tidak menjadi korban perbudakan seksual karena perang dan sentimen sempit keagamaan.

Bagi seorang perempuan, apa yang dilakukan dan diperjuangkan Nadia Murad ini sungguh sebuah perjuangan yang berat dan penuh tantangan. Tidaklah keliru jika Nobel Perdamaian dianugerahkan kepada Nadia Murad yang merupakan sosok pejuang dan penyintas tindak kekerasan seksual.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Melawan Arus

Apa yang diperjuangkan Nadia Murad bukan hanya mewakili 6.700 perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban perbudakan dan perdagangan manusia di bawah komando ISIS, tetapi juga mewakili ratusan juta perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual di seluruh penjuru dunia.

Berbeda dengan korban pemerkosaan yang kerapkali terpuruk dan meratapi nasib sialnya sendirian, Nadia Murad memilih langkah yang melawan arus. Bagi kebanyakan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, mereka biasanya memilih berdiam diri, menyembunyikan aib yang dialami karena khawatir bakal mengalami pemerkosaan tahap kedua dan ketiga jika mempersoalkannya di mata hukum.

Pengalaman telah banyak dialami kaum perempuan; ketika mereka hendak memperjuangkan nasibnya karena diperlakukan sebagai budak seks, justru yang dialami adalah bentuk baru atau tahapan pemerkosaan yang tak kalah menyedihkan. Pertama, ketika diperiksa aparat penegak hukum, sering terjadi korban pemerkosaan harus menghadapi pertanyaan demi pertanyaan yang tidak mempertimbangkan perasaan dan hari nurani korban. Sekadar melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialami, dan kemudian meminta visum ke rumah sakit, ternyata hal itu masih belum diakui dan diterima sebagai bukti hukum yang kuat.

Pertanyaan apakah korban melakukan dan mengalami pemerkosaan karena suka sama suka atau seberapa jauh korban ikut andil memicu terjadinya pemerkosaan karena cara berpakaiannya dan lain sebagainya, sungguh sangat menyakitkan dan menohok perasaan korban. Meski di mata penegak hukum pertanyaan seperti itu perlu dan harus dikemukakan, tetapi bagi korban pertanyaan yang bernada menghakimi seperti itu jelas merupakan bentuk pemerkosaan tahap kedua yang sangat menyakitkan perempuan sebagai korban.

Kedua, bentuk perkosaan selanjutnya yang dialami korban adalah pandangan sinis dan bahkan stigma dari masyarakat terhadap perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Di kalangan masyarakat yang masih terkontaminasi ideologi patriarkis, sering terjadi perempuan yang menjadi korban pemerkosaan harus menjadi korban stigma yang memojokkan mereka. Penghargaan masyarakat yang tinggi terhadap virginitas atau sakralisasi keperawanan, sering justru membuat perempuan yang menjadi korban pemerkosaan makin tersudut.

Tidak sedikit perempuan yang menjadi korban pemerkosaan kehilangan kesempatan untuk dapat kembali hidup normal di lingkungan sosialnya. Bahkan, tidak jarang mereka kemudian terjerumus dalam lingkungan prostitusi dan melakukan praktik pelacuran karena hanya komunitas itulah yang tidak pernah mempersoalkan apakah seorang perempuan masih perawan atau tidak.

Menjadi Ilham

Memberi penghargaan Nobel Perdamaian kepada Nadia Murad, apa yang menjadi pertimbangan panitia tentu bukan sekadar penderitaan dan keberaniannya melawan kesewenang-wenangan ISIS. Keberanian Nadia Murad melarikan diri dari cengkeraman ISIS dan kemudian memilih jalan hidup sebagai aktivitas anti-kekerasan terhadap perempuan diharapkan dapat menjadi ilham bagi perempuan lain yang juga menjadi korban tindak kekerasan seksual.

Ideologi patriarkis yang acapkali menempatkan perempuan sebagai terdakwa dalam kasus kekerasan seksual adalah musuh pertama yang harus dihadapi dan dilawan kaum perempuan seperti Nadia Murad. Artinya, yang dihadapi kaum perempuan sebetulnya bukan sekadar kekejaman ISIS, tetapi musuh yang sebenarnya tak pelak adalah dominasi patriarkis yang membelenggu dan membuat perempuan cenderung tidak berdaya.

Konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai kelompok marginal atau the others sering menyebabkan perempuan tidak berdaya, dan menjadi korban stigma pandangan masyarakat yang seolah mengesahkan apa yang menimpa mereka jika tidak taat pada ideologi yang berlaku.

Lily K. Thacker (2017) dalam artikelnya berjudul Rape Culture, Victim Blaming, and the role of Media in Criminal Justice System menyatakan, dalam berbagai kasus pemerkosaan, media seringkali bertindak sepihak dan cenderung menempatkan perempuan bukan sebagai korban, melainkan bagian dari terdakwa yang ikut bersalah menstimulasi terjadinya pemerkosaan.

Dengan memberi penghargaan kepada Nadia Murad, diharapkan logika masyarakat dan logika media dapat diubah hingga lebih bersimpati dan berempati kepada perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan seksual.

Bagong Suyanto dosen Mata Kuliah Masalah Sosial Anak FISIP Universitas Airlangga

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads