Tes psikologi lainnya berfokus pada pemeriksaan kondisi kepribadian individu. Diistilahkan sebagai tes proyektif atau tes kepribadian. Pada tes jenis inilah pemahaman publik perlu diluruskan. Tidak sedikit kalangan, bahkan dalam komunitas psikologi sendiri yang menganggap kepribadian adalah "segala-galanya". Kepribadian diyakini sebagai penentu tingkah laku manusia. Di sinilah salah kaprah bermula.
Kepribadian sejatinya bukan entitas tunggal dalam apa yang disebut sebagai jiwa manusia. Kepribadian diasosiasikan sebagai kondisi kejiwaan yang menetap, tidak atau sangat kecil kemungkinannya untuk berubah-ubah. Kepribadian diasumsikan stabil kapan pun, di mana pun. Anggapan-anggapan semacam itu mudah sekali digugat: adakah manusia di muka bumi ini yang tabiatnya tidak pernah berubah sepanjang hidupnya? Niscaya tidak ada.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai ilustrasi, bayangkan seorang penyiar yang cuap-cuap tak kenal henti di depan mikrofon. Dia mampu membius pendengar untuk memantengi radio hingga tengah malam buta. Untuk memudahkan, sebutlah si penyiar sebagai sosok ekstrovert. Namun kontras, di rumah, si penyiar menjadi sangat pendiam di hadapan istrinya yang sangar. Apa pun kata sang istri, si penyiar (baca: suami) senantiasa, ibaratnya "siap perintah" -- si penyiar pun menjelma menjadi introvert sejati.
Pada kepribadian si penyiar tersebut, manakah yang trait dan mana pula yang state? Jika aslinya, dalam waktu yang lebih lama dan hampir di segala kesempatan dia memang lebih sering berkoar-koar, maka bisa dikatakan bahwa ekstrovert merupakan trait si penyiar. Introvert adalah state-nya, karena hanya aktif manakala si penyiar bersusah payah mempertahankan hidupnya di depan istrinya.
Tes kepribadian didesain untuk menangkap elemen trait tersebut. Setelah melalui tes itulah, individu bisa disimpulkan mempunyai tipe kepribadian--tepatnya, trait--tertentu. Kepribadian itu hampir selalu konstan. Seakan-akan tidak akan berubah, betapa pun rotasi bumi berbalik arah.
Persoalannya, di jalan raya, seberapa jauh pengemudi akan terus bertahan dengan trait-nya. Jika temuan tes adalah seorang pelamar SIM memiliki kepribadian tenang, apakah ia akan terus-menerus tenang? Sama sekali tidak mungkinkah pengemudi tersebut suatu ketika menghunus jari tengahnya kepada sopir angkutan umum yang ugal-ugalan dan memenyokkan bemper mobilnya? Mustahilkah membayangkan bahwa pengemudi teladan itu tempo-tempo menyumpahi kendaraan pejabat yang dengan entengnya membelah kemacetan parah di jalan tol Jagorawi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengantar kita ke pelurusan salah kaprah berikutnya. Faktanya, di samping faktor kepribadian, tindak-tanduk manusia juga dipengaruhi oleh faktor situasi atau lingkungan. Di dalam psikologi sendiri bahkan terdapat mazhab, yang kian dielu-elukan oleh banyak ilmuwan, yang memandang pengaruh faktor situasi atau lingkungan justru jauh lebih dominan ketimbang faktor kepribadian (trait). Dengan kata lain, faktor eksternal lebih mempengaruhi tingkah laku manusia daripada faktor internal.
Situasi jalan raya, terutama di kota-kota besar, dinilai semrawut. Budaya berlalu lintas para pengendara di Indonesia digambarkan sudah pada level porak-poranda. Laksana sirkus, banyak akrobat di jalan raya yang berlangsung tiba-tiba. Para pengemudi, plus penumpang, harus siap sport jantung. Berhadapan dengan lingkungan sedemikian rupa, kembali ke pertanyaan induk: seberapa jauh kepribadian (trait) pengemudi akan terus stabil?
Situasi jalan raya yang berubah-ubah bahkan menjadi kacau-balau dengan frekuensi tinggi justru sangat mungkin mengaktivasi state pengemudi. Dia bisa sekonyong-konyong berubah tabiat, sebagai bentuk respons terhadap lingkungan yang juga berubah-ubah. Dengan kondisi seperti itu, temuan tes kepribadian nyaris tak ada gunanya. Pengetahuan tentang trait pengemudi yang bersifat ajeg itu menjadi tidak bermanfaat. Ketika hasil tes bertolak belakang dengan perilaku mengemudi di lapangan, cuma satu gumaman yang akan datang, "Kok bisa begitu, ya?"
Apalagi dalam keadaan si pengemudi (yang berdasarkan tes disimpulkan beremosi stabil) menjadi --na'udzubillaahi min dzalik-- pelaku penabrakan maut terhadap sejumlah pejalan kaki, rekaman data tentang hasil tes kepribadian yang bersangkutan sama sekali tak ada gunanya. Akan diapakan rekaman data tersebut, pada saat si penabrak diseret ke kursi terdakwa? Entahlah.
Tambahan lagi, terlalu buruk kiranya andai rencana penerapan tes psikologi bagi pelamar SIM kelak membuka ladang bisnis baru. Bentuknya beragam, mulai dari penjualan buku persiapan psikotes, bimbingan psikotes khusus SIM, hingga jasa "joki" psikotes. Remuklah martabat psikologi!
Uraian di atas menunjukkan bahwa tes psikologi yang mengeksplorasi kepribadian pelamar SIM, hemat saya, tidak akan efektif jika diterapkan sebagai pendekatan dalam rangka menekan kejadian kecelakaan lalu lintas.
Paksa Saja
Alih-alih membelejeti kondisi dalam (kepribadian) para calon pemilik SIM, utak-atik terhadap faktor situasi (lingkungan) jauh lebih realistis untuk dikaji dan diterapkan dengan tujuan di atas. Faktor situasi itu mencakup antara lain kondisi jalan raya, cuaca, kondisi kendaraan, dan keberadaan para pengguna jalan di sekitar.
Jadi, alih-alih memulai dari titik hulu (kepribadian), jauh lebih tepat guna kiranya jika otoritas kepolisian memperkuat titik hilir. Sasarannya adalah memaksa para pengemudi untuk selalu berperilaku mengemudi sesuai aturan. Untuk itu, polisi bersama lembaga terkait lainnya perlu menegakkan ketentuan berlalu lintas secara cepat, ajeg, dan berat. Tiga unsur ini harus terpenuhi untuk memastikan para pengendara bisa bertindak-tanduk lebih taat dan tepat di balik kemudi.
Kedahsyatan manusia adalah kemampuannya untuk belajar agar bisa berperilaku lebih pas di lingkungannya. Pendisiplinan berlalu lintas yang dilakukan secara cepat, ajeg, dan berat sama artinya dengan mendorong para pengemudi untuk belajar. Apabila pemaksaan untuk belajar itu menghasilkan manfaat nyata, si pengemudi sendiri yang secara bertahap akan mengubah dirinya (kepribadiannya).
Gambaran tersebut berbeda dengan pemikiran yang mendasari rencana pemberlakuan tes psikologi bagi pelamar SIM. Tak perlu lagi repot-repot menyisir kepribadian dengan harapan perilaku mengemudi lebih aman. Justru sebaliknya, paksa para pengendara membenahi gaya mengemudinya agar "dunia dalam"-nya ikut berubah menjadi lebih baik.
Reza Indragiri Amriel pemilik SIM A dan C
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini