Plagiarisme juga menjadi pukulan berat dalam dunia literasi yang akhir-akhir makin mandek di tengah maraknya media sosial. Kasus ini harus menjadi refleksi bersama kaum sarjana di Indonesia. Tugas besar kaum sarjana adalah membangun manusia Indonesia yang siap berjuang membangun bangsa.
Manusia Indonesia yang melek aksara dan literasi sangat menentukan arah masa depan peradaban bangsa. Melek aksara juga menjadi salah satu hak asasi manusia yang disepakati oleh bangsa-bangsa di dunia. Buta aksara memberikan kontribusi tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia/Human Development Index (HDI). Angka buta aksara menyumbang 2/3 dalam penentuan HDI. Sepertiga ada dalam pendidikan, lainnya ekonomi dan kesehatan (Kemendiknbud: 2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harris Iskandar (2016) menjelaskan, upaya pemberantasan buta aksara yang telah dilakukan sejak 2005 masih terkendala berbagai masalah. Terutama faktor kemiskinan, lokasi yang tidak terjangkau, dan kurangnya motivasi belajar. Tren penurunan buta aksara dari tahun ke tahun sebenarnya terus membaik. Saat ini kita sudah sampai di kilometer terakhir (pemberantasan buta aksara), namun sekaligus ini adalah titik yang sulit untuk ditempuh karena faktanya lebih dari 5 juta penduduk ini tersebar dan tercecer di berbagai pelosok.
Papua menjadi provinsi dengan persentase penduduk tuna aksara yang tertinggi. Berdasarkan data Kemendikbud, penduduk tuna aksara berusia 15-59 tahun di Papua mencapai 28,61 persen. Sementara Nusa Tenggara Barat 10,62 persen, dan Sulawesi Barat di posisi ketiga (7,63 persen). Adapun di Jawa Barat masih terdapat 2,03 persen penduduk yang buta aksar. Jumlah ini menggambarkan sekitar 604.000-an penduduk Jawa Barat belum melek aksara.
Melek Peradaban
Sarjana berperan besar meneguhkan laju peradaban dunia dari aksara. Aksara memainkan peranan penting dalam penciptaan tata peradaban yang maju dan modern. Untuk mengerti aksara saja, para pencipta peradaban selalu bekerja keras menyusun huruf demi huruf. Lihatlah bangsa Aida yang bekerja keras menata batu bata peradaban Barat lewat salinan ensiklopedi pengetahuan selama 8 abad lamanya.
Bangsa Aida, menurut Taufik Rahzen, menjadi ujung tombak lahirnya peradaban modern yang menelurkan ragam keilmuan yang berkembang pesat hingga sekarang. Bangsa Aida dengan tekun menyalin pengetahuan yang berasal dari Yunani, Islam, Romawi, India, China, dan berbagai khazanah peradaban agung lainnya. Dengan ketekunan beraksara, ciptaan mereka menjadi agung sampai sekarang.
Lihat pula yang dilakukan Harun al-Rasid dengan proyek perpustakaan baitul hikmah-nya. Sang Khalifah mengeluarkan dana yang sangat besar untuk mendanai berbagai program keilmuan dan kebersaksaraan dalam rangka menjulangkan peradaban Islam hingga tampil dengan gemilang. Para penyalin pengetahuan yang bergelut di perpustakaan baitul hikmah tersebut menjalani prosesi agung mentranskrip ragam pengetahuan yang terhampar di dunia. Salinan pengetahuan dengan ketekunan beraksara kemudian menjadikan Islam di Timur Tengah sebagai pemimpin peradaban dunia selama beberapa abad.
Demikian juga yang terkisah dalam pembuatan kamus Oxford English Dictionary. Kamus yang penyusunannya diketuai oleh Prof Murroy tersebut menghabiskan waktu selama 70 tahun. Kamus tersebut disusun dengan ketelitian dunia aksara yang sangat mendalam. Setiap kata yang lahir di-tashih dengan penuh khidmat. Tak salah kalau kamus tersebut kemudian menjadi standar literasi dalam dunia akademik Barat.
Kamus Oxford selalu dipajang di meja para peneliti dan pengkaji pengetahuan. Ketelitian dalam beraksara yang dilakukan Prof Murroy adalah pelajaran berharga bahwa dunia aksara sarat dengan ketekunan dan kedisiplinan. Dan, dari situlah peradaban lahir dengan tegak dan kokoh.
Bagaimana dengan Indonesia? Beraksara belum mendapat tempat yang layak di bumi Indonesia. A Teeuw (1994) melihat bahwa Indonesia masih terombang-ambing antara tradisi kelisanan dan keberaksaraan. Tetapi kelisanan masih mendominasi dalam gerak pengetahuan di Indonesia. Terbukti karya tulis belum mendapatkan tempat yang standar dan ideal dalam laju keilmuan yang berkembang di Indonesia.
Tak salah juga kalau buta aksara masih berderet di Indonesia sepanjang kepulauan yang membujur se-Nusantara. Karena tak mendapatkan perhatian yang layak, padahal melek aksara sangat menentukan kualitas bangsa, tidak salah kalau HDI Indonesia selalu berada di peringkat rendah, tertinggal dengan negara tetangga Asia Tenggara lainnya.
Dalam konteks ini, peradaban di Indonesia sejatinya sedang menggantung, sedang di persimpangan jalan. Kualitas beraksara masih dalam krisis yang kalut. Iktikad baik pemerintah untuk meminimalisasi angka buta aksara harus didukung bersama seluruh elemen bangsa. Program pemberantasan buta aksara harus segera diselesaikan. Bekerja sama dengan perguruan tinggi negeri dan swasta secara maksimal bisa menjadi langkah strategis dalam menyegerakan bebas buta aksara.
Sementara itu, keputusan anggaran pendidikan 20 persen seharusnya juga menjadi pelecut kebijakan negara dalam mengentaskan program buta aksara bersama dengan berbagai lembaga pendidikan negeri dan swasta. Ingat, hak beraksara sama dengan hak hak pelayanan kesehatan dalam standar hak asasi manusia.
Peradaban Indonesia harus ditegakkan bersama. Bukan saja oleh kaum terpelajar dan elite kota, tetapi juga oleh masyarakat desa yang berjejer di berbagai pelosok. Semua bertugas sama dalam menegakkan kaki ke-Indonesia-an. Indonesia yang melek aksara, yang terus berjuang menjaga kedaulatan aksara dalam gerak peradaban yang telah diperjuangkan sejak berdiri.
Siti Muyassarotul Hafidzoh koordinator Litbang PW Fatayat NU DIY
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini