Diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch, peluncuran buku ini dihadiri pembicara dan tokoh antikorupsi sangat terhormat seperti Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, koordinator ICW Adnan Topan Husodo dan Bivitri Susanti dari Jentera. Saya sendiri, karena masih menjadi Visiting Professor di Melbourne Law School dan Faculty of Arts, Universitas Melbourne, tidak bisa hadir langsung, tetapi bisa menyampaikan pengantar diskusi melalui fasilitas Skype.
![]() |
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terdiri dari empat Bab, buku ini dimulai dengan pendekatan sejarah bagaimana lembaga-lembaga antikorupsi di tanah air telah berulangkali dilemahkan, bahkan dibunuh. Sejak era Orde Lama, Orde Baru dan reformasi, telah ada 11 lembaga antikorupsi pendahulu KPK, yang akhirnya hilang, lemah, dilemahkan dan ditiadakan. Beberapa hanya berumur jagung sekian bulan, dan menghilang. KPK adalah satu-satunya lembaga antikorupsi independen, dengan dasar hukum dan kewenangan yang lebih kuat, dan bisa bertahan hingga tahun ke 13 sejak efektif memilih komisionernya di tahun 2003.
![]() |
Bab I pada dasarnya menegaskan bahwa pembunuhan lembaga antikorupsi telah berlangsung berulang kali, dan karenanya tidak boleh lagi terjadi pada KPK.
Bab II kemudian memberikan dasar teori penguatan kelembagaan dan kewenangan KPK melalui empat pendekatan, yaitu teoritis, praktik, perbandingan antar negara dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
Secara teoritis, buku ini menguatkan dasar keilmuan bagi KPK sebagai komisi negara independen. Bahwa keberadaan independent agencies adalah keniscayaan untuk menjawab kebutuhan ketatanegaraan modern yang tidak bisa lagi hanya direspon oleh tiga cabang kekuasaan klasik: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Secara praktik, hasil konferensi internasional tahun 2012 yang melahirkan Jakarta Principles, adalah rujukan bagaimana genetik kelembagaan KPK sebaiknya dirumuskan, di antaranya: mandat kelembagaan dan kewenangan yang kuat, ketersediaan anggaran, jaminan perlindungan (imunitas) dan sistem remunerasi yang tinggi.
Secara perbandingan ketatanegaraan, buku JBK beruntung karena KPK dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) telah melakukan kajian lembaga antikorupsi di tujuh puluh delapan negara. Sehingga buku JBK lebih mudah untuk menjelaskan dan membandingkan kewenangan dan struktur lembaga-lembaga tersebut dengan KPK. Selanjutnya, buku ini juga berkesempatan menganalisa lebih dalam 12 putusan MK terkait uji materi UU KPK.
Dari empat pendekatan itulah, dapat disimpulkan bahwa KPK Indonesia sebenarnya adalah lembaga yang cukup ideal dan lebih baik jika dibandingkan dengan lembaga antikorupsi di negara lain. Namun, tetap ada ruang perbaikan agar KPK ke depan menjadi lembaga negara yang lebih kuat dan efektif. Di antara penguatan yang diperlukan adalah: dasar hukum keberadaan dan kewenangan KPK sebaiknya ditingkatkan ke dalam konstitusi. KPK sebaiknya menjadi organ konstitusi. Untuk penguatan pula diperlukan jaminan anggaran, SDM dan penggajian di KPK harus diperbaiki. Selanjutnya, tetap diperlukan imunitas hukum terbatas bagi pimpinan dan pegawai KPK.
Soal imunitas terbatas ini selalu menjadi perdebatan, padahal contoh perlindungan demikian bukanlah tanpa dasar. Di beberapa negara, jaminan perlindungan itu masuk dalam dasar hukum keberadaan lembaga antikorupsinya. Di Indonesia, UU Ombudsman, UU terkait parlemen, UU Lingkungan Hidup adalah beberapa contoh undang-undang yang telah mengadopsi konsep imunitas terbatas bagi komisioner lembaga, termasuk imunitas bagi anggota parlemen.
![]() |
Yang pasti, imunitas di sini bukan berarti impunitas. Di mana pimpinan dan pegawai KPK sama sekali tidak dapat disentuh hukum. Imunitas itu hanya diberikan dalam kondisi, batasan dan masa kerja tertentu. Dengan demikian dimaksudkan, pimpinan dan pegawai KPK tidak mudah dijadikan target serangan balik oleh para koruptor.
Hal lain yang ingin dijawab buku JBK adalah rencana tak berujung dari sebagian kalangan untuk merubah UU KPK, yang menyoal kewenangan KPK, ketiadaan kewenangan SP3, penguatan pengawasan termasuk izin penyadapan. Sebenarnya perdebatan hukum atas isu itu sudah selesai. Dua belas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjawab semua persoalan itu. Dalam hal keberadaan dan kewenangan strategis KPK, MK sudah menegaskan bahwa semuanya tidak bertentangan dengan konstitusi. Menurut MK, KPK dengan kewenangannya yang kuat memang diperlukan untuk pemberantasan korupsi yang efektif dan secara luar biasa.
Terkait pengawasan, memang perlu terus dilakukan perbaikan secara internal maupun eksternal. Pengawasan internal tetap perlu diperbaiki melalui penegakan kode etik dan hukum kepegawaian KPK. Sedangkan terkait pengawasan eksternal, jelas sudah ada, dan tidak benar jika dikatakan KPK adalah lembaga negara tanpa pengawasan. Keuangan KPK diawasi oleh BPK. Soal penyadapan menjadi objek audit oleh Kemenkominfo. Sedangkan kinerja penegakan KPK jelas-jelas dikontrol oleh proses peradilan.
Ujung dari kerja penegakan hukum KPK outputnya adalah penuntutan. Setelah melalui proses penyelidikan, penyidikan, KPK harus menyusun bukti-bukti yang menghadirkan penuntutan yang kokoh dan tidak terbantahkan. Karena itu, rekor penuntutan KPK yang selalu terbukti dan berujung dengan dihukumnya terdakwa di pengadilan tindak pidana korupsi, adalah bukti bahwa kinerja penegakan hukum KPK telah berjalan dengan sangat baik dan efektif.
Ke depan, saya tetap menyarankan bahwa penguatan KPK dilakukan dengan formula E-ACC = Independency + Authority + Control. Yaitu lembaga antikorupsi yang efektif harus dirancang dan didukung dengan independensi kelembagaan yang kuat, kewenangan yang besar, tetapi tetap dengan kontrol yang juga efektif. Dengan rumus tersebut, rencana merubah UU KPK yang mengurangi kewenangan KPK, membatasi penyadapan dan peningkatan pengawasan cenderung melemahkan KPK. Seharusnya kewenangan KPK minimal tetap, kelembagaan KPK dikuatkan ke dalam Undang-Undang Dasar, penyadapan didukung meskipun memang pengawasan harus terus diperbaiki. Sehingga, kalau benar ada keinginan untuk menguatkan KPK, maka rancangan yang sekarang ada harus dilakukan perbaikan mendasar.
Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi masukan terkait rekrutmen pimpinan KPK. Saat ini UU KPK mengatur panitia seleksi mengirim dua kali formasi pimpinan yang dibutuhkan ke DPR. Saya menyarankan formula itu dirubah, bukan x 2 (kali dua) dari formasi yang dibutuhkan, tetapi + 2 (plus 2) dari formasi yang dibutuhkan. Artinya, jika formasi yang diusulkan 5 orang misalnya, maka pansel tidak lagi mengirim 10 orang, atau dua kalinya, tetapi cukup mengirim 7 orang kandidat atau tambah dua, ke DPR. Dengan perubahan fomula menjadi + 2 itu, maka ruang politisasi rekrutmen komisioner KPK semakin diperkecil.
Demikian, sedikit gambaran buku, "Jangan Bunuh KPK", dan saya berharap buku ini dapat menjadi alat bantu advokasi untuk menjaga bahkan menguatkan keberadaan KPK. Memang, sebagian besar argumentasi di buku ini bukanlah hal yang baru, namun saya berusaha agar tersusun lebih sistematis, dengan argumen akademik yang lebih jelas.
Bagaimanapun, ke depan, serangan dan upaya pembunuhan kepada KPK agaknya akan terus berlangsung. Maka di samping daya tahan dan daya tarung yang terus gigih, tetap diperlukan argumen logik yang tepat untuk menegasikan berbagai argumen koruptif yang dihadirkan para pembenci dan musuh KPK, yang sangat boleh jadi adalah para koruptor itu sendiri.
Keep on fighting for the better Indonesia.
*) Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Visiting Professor pada Melbourne Law School dan
Faculty of Arts, University of Melbourne (nwk/nwk)