Arcandra, Gloria, Owi, dan Butet adalah Kita
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Catatan Kamisan Denny Indrayana

Arcandra, Gloria, Owi, dan Butet adalah Kita

Kamis, 18 Agu 2016 09:25 WIB
Denny Indrayana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Denny Indrayana/Dokumentasi Pribadi
Melbourne - Entah apa kehendak Sang Maha Sutradara Kehidupan. Pada detik-detik proklamasi 17 Agustus 1945, kita dihadapkan dengan berbagai potongan dialog kebangsaan untuk direnungkan. Hari-hari menjelang peringatan 71 tahun kemerdekaan, ke-Indonesia-an kita ditantang, nasionalisme kita menghadapi pertanyaan. Muncul persoalan dwi kewarganegaraan mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar, Gloria Natapraja Hamel, meski lalu ditutup manis dengan kado kemerdekaan berupa emas dari Olimpiade Rio de Janeiro yang dipersembahkan pasangan bukutangkis Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir.

Agaknya Sang Pencipta ingin kita berefleksi, melakukan perenungan lagi. Siapakah warga negara Indonesia sebenarnya? Apakah kita adalah benar menjadi Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika?

Menurut UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, pada seseorang dapat terjadi tiga hal: memperoleh (Pasal 8 – 22), kehilangan (Pasal 23 – 30), dan memperoleh kembali (Pasal 31 – 35) kewarganegaraan Indonesia. Yang pasti, Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride). Karena itu, dalam kasus Arcandra Tahar, secara hukum, Presiden Joko Widodo tidak punya pilihan lain, kecuali memberhentikan yang bersangkutan. Hal itu karena Arcandra tidak memenuhi syarat sebagai menteri yang menurut UU Kementerian Negara harus seorang WNI. Dengan memegang paspor Amerikaβ€”dan kabarnya telah mengangkat sumpah setia menjadi Warga Negara Amerikaβ€”Arcandra telah kehilangan status WNI-nya. Meskipun mengatakan telah mengembalikan kewarganegaraan Amerikanya, dan masih memiliki paspor Indonesia yang batas waktunya masih berlaku, tidak otomatis Arcandra kembali menjadi WNI (Baca kolom saya, "Kewarganegaraan Arcandra Tahar dan Konsekwensi Hukumnya").

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebenarnya demikian pula halnya dengan persoalan kewarganegaraan Gloria Natapraja Hamel. Karena ayahnya berkewarganegaraan Perancis, sesuai UU Nomor 62 Tahun 1958 yang berlaku saat kelahirannya di tahun 2000, maka Gloria adalah warga negara Perancis. Meskipun menurut Pasal 41 UU Kewarganegaraan yang baru, Gloria dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tetapi hal demikian harus melalui proses pendaftaran kepada Menteri Hukum dan HAM, dan paling lambat dilakukan empat tahun sejak UU Kewarganegaraan berlaku, atau tahun 2010 yang lalu. Dugaan saya, pendaftaran itu tidak dilakukan, sehingga secara hukum, Gloria masih berkewarganegaraan Perancis.

Baik Arcandra yang kehilangan ke-WNI-annya, ataupun Gloria yang masih berwarga negara Perancis, dapat menjadi WNI dengan proses yang berbeda. Arcandra melalui permohonan memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesianya, sedangkan Gloria melalui permohonan menjadi WNI. Meskipun selintas terkesan sama, secara hukum keduanya adalah dua hal yang berbeda.

Yang menarik adalah keputusan yang diambil Presiden Jokowi menyikapi status kewarganegaraan Arcandra dan Gloria. Meskipun keduanya secara hukum bukan warga negara Indonesia, Jokowi mengambil penyikapan yang berbeda. Dalam kasus Arcandra, Presiden Jokowi mengambil sikap tegas dan tepat, dengan memberhentikan yang bersangkutan sebagai Menteri ESDM (Baca kolom saya, "Mencandra Persoalan Arcandra Tahar"); sedangkan dalam kasus Gloria, Jokowi akhirnya memberikan kesempatan bagi yang bersangkutan untuk ikut serta menjadi bagian Paskibraka yang menurunkan Sang Saka Merah Putih.

Meskipun tentu ada plus dan minusnya, saya bersepakat dengan dua keputusan Presiden Jokowi demikian. Hukum memang tidak hanya soal kepastian, tetapi juga kemanfaatan dan keadilan. Dalam persoalan Arcandra Tahar, Presiden Jokowi akan dianggap melanggar UU Kementerian Negara jika tetap berkeras mempertahankannya selaku Menteri ESDM. Apalagi, portofolio Arcandra mencakup bidang tugas yang sangat strategis, persoalan energi, sumber daya dan mineral, yang sangat penting dan rawan menimbulkan konflik dan benturan kepentingan.

Tidak demikian halnya dengan Gloria. Tugas yang diembannya tidaklah sendirian, tetapi bersama-sama dengan enam puluh tujuh anak bangsa yang lain. Meskipun penting, dimensi tugas bersama-sama pengibaran bendera pusaka, tentu berbeda dengan tugas seorang diri Menteri ESDM yang lebih sarat berbagai kepentingan. Meskipun sama-sama melanggar aturan, terkait Gloria aturan yang dilanggar adalah syarat WNI sebagai anggota Paskibraka berdasarkan pedoman dalam Peraturan Menpora Nomor 0065 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Paskibraka. Hal lain yang menyebabkan makin penting diizinkannya Gloria menurunkan bendera adalah fakta dia telah melalui proses seleksi panjang dan lolos pada tingkat sekolah, kabupaten/kota hingga provinsi. Yang pasti, baik dalam kasus Arcandra maupun Gloria, ada kesamaan catatan: proses rektrutmen harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat.

Yang pasti soal kewarganegaraan Arcandra dan Gloria ini memang menimbulkan persoalan terkait apakah kita ke depan akan menganut sistem kewarganegaraan ganda. Saat ini ada sekitar 44 negara yang menerapkan sistem bipatride. Di antara yang menerapkan kewarganegaraan ganda adalah Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Australia, Korea Selatan, dan Filipina. Sedangkan negara-negara seperti Tiongkok, India, Jepang, dan Thailand tidak mengakui dua kewarganegaraan.

Karena sudah menganut sistem kewarganegaraan ganda, maka Filipina memungkinkan Grace Poe sebagai calon presidennya meskipun berkewarganegaraan Filipina dan Amerika Serikat. Poe lahir di Filipina, pada tahun 2001 memperoleh kewarganegaraan Amerika, dan pada tahun 2010 dia memperoleh kembali kewarganegaraan Filipinanya. Pada April 2016, terkait pencalonannya sebagai Presiden, Mahkamah Agung Filipina menyatakan Poe memenuhi syarat sebagai calon presiden terkait masa tinggal selama 10 tahun di Filipina, dan sama sekali tidak menyoal kewarganegaraan Amerikanya, yang memang tidak masalah di negara tetangga tersebut. Meskipun akhirnya tidak terpilih sebagai presiden, Grace Poe dengan kewarganegaraan Amerika dan Filipinanya adalah anggota Senat Filipina sejak tahun 2013. Jadi dalam hal kewarganegaraan itu, praktiknya Filipina lebih maju dari Amerika Serikat sendiri, yang hingga saat ini baru memiliki Presiden Barrack Obama yang berdarah campuran Afrika, tetapi tetap hanya warga negara Amerika saja.

Kita sendiri sejak Perubahan Ketiga UUD 1945 di tahun 2001, telah merubah syarat keaslian dalam pasal 6 bahwa, "Presiden adalah orang Indonesia asli" dan menggantikannya dengan, "Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden". Dengan ketentuan itu, orang seperti Basuki Tjahaya Purnama yang keturunan Tionghoa tidak hanya mungkin menjadi Gubernur DKI Jakarta, tetapi juga sah untuk menjadi calon presiden Indonesia. Demikian pula halnya dengan Anies Baswedan yang berdarah Arab tidak lagi ada hambatan untuk menjadi calon presiden masa depan.

Terlepas rumitnya sistem kewarganegaraan kita, sebenarnya ia menjadi mudah ketika kita menunjukkan prestasi nyata membela Indonesia. Gloria mengundang simpati dan dukungan karena pernyataannya yang cerdas dan bernas, yang mencerminkan sikap pantang menyerah dan kecintaannya kepada Indonesia. Saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa banyak mewarnai prestasi di level dunia, dan sejak Susi Susanti dan Alan Budikusuma di tahun 1992, terus menyumbangkan dan mengibarkan emas di ajang olimpiade.

Tradisi emas olimpiade itulah yang kembali dipertahankan Tontowi Ahmad (Owi) dan Liliyana Natsir (Butet) pada Olimpiade 2016 ini. Pasangan ganda campuran ini tentulah berkewarganegaraan Indonesia, namun lebih membanggakan dari itu adalah prestasi dunia yang berpijak pada keberagaman mereka berdua. Owi adalah keturunan Jawa yang muslim, dan Butet adalah keturunan Tionghoa yang katolik. Keduanya bersatu, bahu-membahu, dan berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia.

Menurut saya, yang lebih berbahaya dari warga negara asing adalah, orang kita sendiri, orang dengan paspor Indonesia namun bermental anti-Indonesia, anti-keberagaman, anti-kebhinnekaan, dan jangan lupa, tidak anti-korupsi. Yang lebih berbahaya dari sekedar berpaspor atau kewarganegaraan asing adalah orang Indonesia sendiri yang terus mengkorupsi Indonesia. Dalam salah satu surat elektronik kepada saya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Profesor Moh. Mahfud MD menyatakan, "dari lubuk hati yang paling dalam saya sungguh berharap Mas Denny dapat kembali ke Indonesia untuk ikut berkiprah lagi membenahi karut marut yang sedang menimpa bangsa kita, terutama korupsi dan radikalisme. Indonesia telah membesarkan kita dengan kemerdekaannya dan kita harus menjaganya pula dengan sabar".

Saat ini saya hanya sedang memenuhi undangan sebagai Profesor di University of Melbourne, Australia. Tentu saya akan kembali ke Ibu pertiwi. Sebagaimana Sri Mulyani mengatakan dan membuktikan, "I'll be back". Darah saya memang campuran. Ibu saya Kalimantan, ayah saya Sunda, dan nenek saya Tionghoa. Tetapi saya tentu, dan akan selalu, memegang erat Indonesia. Jangan pernah lelah mencintai Indonesia yang hebat ini. Arcandra, Gloria, Owi dan Butet adalah Kita!

Keep on fighting for the better Indonesia. (*)

Baca: Catatan Kamisan Denny Indrayana, Memotret Melbourne dan Australia (ega/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads