Mencandra Persoalan Arcandra Tahar
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mencandra Persoalan Arcandra Tahar

Selasa, 16 Agu 2016 07:21 WIB
Denny Indrayana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Foto: Denny Indrayana/Dokumentasi Pribadi
Jakarta - Presiden Joko Widodo telah mengambil keputusan yang tepat dengan memberhentikan Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM. Presiden telah memberikan contoh bahwa kepemimpinan bukan hanya terkait cara mengambil keputusan dengan benar, tetapi juga bagaimana mengoreksi keputusan yang salah. Bahkan, tidak jarang, mengoreksi keputusan yang keliru itu justru jauh lebih sulit. Terlebih sebagai Presiden, orang nomor satu di republik, banyak godaan dan jalan kekuasaan yang bisa disalahgunakan untuk terus melaksanakan keputusan yang keliru, tanpa perlu mengkoreksinya. Maka, keputusan Presiden Joko Widodo yang memberhentikan Menteri ESDM adalah contoh ketaatan Beliau untuk melaksanakan ketentuan dalam UU Kementerian Negara, terkait seorang menteri harus WNI. Teladan demikian adalah tindakan seharusnya, serta sejalan dengan lafadz sumpah jabatan Presiden yang berikrar, "memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya".

Sekarang, setelah Arcandra Tahar diberhentikan, pelajaran apa yang bisa kita ambil agar permasalahan serupa tidak terulang kembali? Yang pertama, setiap keputusan Presiden pasti akan berdampak besar pada kehidupan republik, dan karenanya harus dipersiapkan bukan hanya dengan cepat, tetapi juga tepat dan cermat. Karena itu, Presiden harus didukung dengan tim kepresidenan yang menguasai betul secara detail berbagai aspek keputusan yang akan diambil.

Di Amerika Serikat, menyadari tugas berat yang diemban seorang presiden, pada tahun 1939, di era Presiden FD Roosevelt, keberadaan Executive Office of the President dikokohkan dan disetujui oleh Kongres. Staf yang bekerja pada kantor presiden itu pernah sangat banyak hingga mencapai 174.138 orang pada tahun 1945, namun turun hingga di masa Bill Clinton berjumlah 1.565 orang. Tidak ada angka yang jelas, berapa staf yang sekarang membantu Presiden Barrack Obama, tetapi diperkirakan angkanya pun sekitar 2000-an orang. Ribuan orang itulah yang bekerja keras membantu Presiden Amerika mempersiapkan semua bahan kebijakan Presiden, serta memastikan dan mengecek ulang secara rinci dan hati-hati setiap keputusan yang akan dikeluarkan oleh Presiden.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam konteks Indonesia, struktur Lembaga Kepresidenan seringkali mengikuti gaya dan visi kepemimpinan sang Presiden. Namun, pada dasarnya, struktur dan cara kerjanya relatif sama. Saya berpendapat, sekarang ini yang bisa dimasukkan dalam struktur lembaga kepresidenan adalah lembaga dan kementerian yang berkantor di sekitar Istana Presiden, yaitu Kantor Staf Presiden, Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet dan Dewan Pertimbangan Presiden.

Pengalaman saya pribadi, ketika menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Hukum (2008 – 2009), lalu Bidang Hukum, HAM dan Pemberantasan KKN (2009 – 2011), maka saya adalah staf presidenβ€”di bawah supervisi Sekretaris Kabinetβ€”yang bertugas ikut memastikan agar kebijakan dan keputusan Presiden sejalan dengan aturan perundangan di dalam ruang lingkup bidang kerja saya. Sebagai staf khusus Presiden, kami disebut sebagai "staf yang melekat" karena pada dasarnya selalu berada di sekitar Presiden, dan setiap saat harus siap memberi masukanβ€”termasuk koreksiβ€”jika diperlukan.

Persoalannya, ada beberapa proses pengambilan kebijakan yang karena sifatnya dilakukan secara tertutup, rahasia, dan hanya diketahui oleh Presiden dan sangat sedikit pimpinan eksekutif. Termasuk dalam pengambilan keputusan demikian adalah penyusunan kabinet, yang biasanya hanya melibatkan Presiden dan Wakil Presiden. Kalaupun ada jajaran menteri yang ikut serta, biasanya hanya Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet. Dalam situasi demikian, proses mengawal kebijakan presiden menjadi lebih menantang. Tidak jarang, hanya pada last minutes, pada saat penyusunan rancangan Keputusan Presiden, sebelum pelantikan dilakukan, barulah jajaran staf teknis mempunyai kesempatan untuk memastikan bahwa kandidat anggota kabinet sejalan dengan syarat peraturan perundangan.

Pengalaman kami, karena sifat yang rahasia tersebut, pernah ada kandidat wakil menteri yang akhirnya batal dilantik. Karena pada saat disiapkan rancangan Keppresnya, diketahui bahwa yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai wakil menteri. Namun, karena rencana pelantikannya sempat tercium oleh teman-teman media, maka dinamika politik yang munculpun tetap tidak mudah untuk dikelola. Pada kesempatan reshuffle di tahun 2011, hal yang sama hampir berulang, namun dapat lebih awal diantisipasi.

Melihat beberapa kandidat wakil menteri yang muncul tidak memenuhi syarat administratif, saya menyampaikan masukan kepada Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara. Solusi hukum yang saya tawarkan adalah: karena ketentuan syarat tambahan untuk menjadi Wakil Menteri itu muncul pada Peraturan Presiden, dan tidak ada dalam UU Kementerian Negara, maka Perpres terkait syarat tambahan wakil menteri itu dapat direvisi. Apalagi, pengangkatan dan pemberhentian menteri (dan wakil menteri) adalah hak prerogatif presiden, sehingga menjadi aneh kalau justru dibatasi sendiri melalui Peraturan Presiden.

Ke depan, memang harus dibangun mekanisme kerja agar ada waktuβ€”sesedikit apapunβ€”untuk memastikan keputusan presiden sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Itulah tugas jajaran Lembaga Kepresidenan di sekitar Presiden. Paling tidak, pada saat suatu rancangan keputusan sedang disusun, itulah window opportunity yang meski sedikit, harus dimaksimalkan untuk memastikan dan mengamankan dan keputusan yang diambil Presiden.

Mencandra dari kasus Arcandra Tahar, semoga kejadian yang sama tidak lagi terulang di masa depan. Meskipun mengkoreksi kesalahan tetap suatu tindakan yang tidak mudah dan wajib diapresiasi, tetapi tentu tidak diharapkan untuk kerap terjadi. Kepada jajaran Lembaga Kepresidenan saya turut berempati atas tantangan dan amanat berat untuk membantu kerja besar Presiden Jokowi. Selamat terus bertugas dan bekerja, kerja dan kerja tidak hanya dengan cepat, tetapi juga tepat dan cermat. (*)


Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM
Visiting Professor di Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne

(dnu/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads