Sebenarnya sudah lebih dari 20 tahun Indonesia mengalami krisis energi (BBM), namun Pemerintah tak kunjung membuat cetak biru terkait dengan ketahanan energi nasional. Studinya bertumpuk tetapi tak kunjung ditetapkan dan digunakan sebagai acuan oleh semua pihak. Jadi jangan heran jika diversifikasi energi nasional, termasuk gas alam, tak berjalan.
Cadangan gas alam Indonesia saat ini terbesar nomor 6 di dunia. Nilai cadangan gas alam Indonesia saat ini sekitar 135 Trillions of Standard Cubic Feet (TSCF) dengan produksi sekitar 8.000 mmscfd/hari. Gas alam Indonesia belum digarap secara optimal oleh Negara, selain hanya terus di ekspor untuk menambal sisi penerimaan APBN. Akibatnya energi terbarukan, seperti biofuel, belum bisa dikembangkan dengan baik karena masih ada BBM murah bersubsidi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara itu saat ini Singapura membeli shale gas dari Amerika hanya sekitar USD 2-3/MMBTU. Sementara Singapura harus membayar sebesar USD 17/MMBTU sampai ditempat untuk gas alam eks Conphil Grissik Sumatera Selatan.
Kondisi Lapangan Gas Alam Indonesia
Kelamnya masa depan gas alam Indonesia juga dipicu oleh tidak adanya strategi penggunaan gas sebagai energi primer pengganti minyak bumi yang semakin langka dan mahal. Belum lagi tingginya semangat Pemerintah untuk terus memberikan subsidi BBM dan LPG 3 kg sebesar-besarnya, memperburuk nasib bangsa ini ke depan.
Gas alam, yang biasa diperdagangkan dalam bentuk cair atau Liquid Natural Gas (LNG) atau Compressed Natural Gas (CNG) atau Bahan Bakar Gas (BBG), harganya jauh lebih murah dari minyak bumi. LNG berbeda dengan LPG atau Liquid Petroleum Gas yang bahan dasarnya adalah minyak bumi. Kondisi tersebut diperburuk karena sebagian besar orang Indonesia tidak paham bedanya LNG dengan LPG.
Sementara itu Pemerintah Indonesia juga membiarkan rakyat terus menggunakan LPG selama puluhan tahun. Kala minyak kita berlimpah, tidak masalah. Namun ketika minyak kita defisit dan harus impor, ini masalah. Sampai untuk konversi minyak tanahpun digunakan LPG 3 kg. Harusnya LPG hanya digunakan sebagai bridging atau program antara saja sebelum sepenuhnya menggunakan gas alam.
Kita kembali ke gas alam. Saat ini gas alam masih disia-siakan. Bukan hanya gasnya tetapi pengelolaannya juga diobrak abrik oleh pemerintah yang menyebabkan negara rugi sekitar Rp 50 triliun sejak periode 22 Mei 2013-8 Januari 2014, akibat rencana open access jaringan pipa PGN dan bocornya hasil rapat Kementerian BUMN ke media, tentang rencana Pertamina mengakuisi PT PGN, Tbk. Pemberitaan tersebut memberikan ketidakpastian kepada pemegang saham publik. Fatal akibatnya.
Ketidakpastian ini turut memberikan sentimen negatif kepada pemberi fasilitas pinjaman Perseroan dan lembaga pemeringkat hutang yang telah memberikan peringkat layak investasi kepada PGN. Nilai kekayaan negara sebagai pemegang saham utama (57%) PGN menurun sebesar Rp 29 triliun di periode tersebut. Sedangkan nilai kekayaan BPJS Tenaga Kerja (PT Jamsostek) dan badan usaha-usaha terafiliasi negara yang memiliki saham PGN menurun sebesar Rp 1,45 triliun.
Jadi kelamnya gas alam Indonesia memang tidak main-main. Apalagi saat ini Singapura sudah tidak lagi membutuhkan banyak gas dari eks ConPhil Grisik, Sumatera Selatan karena kebutuhan gas Singapura sejak tahun lalu sudah mulai dipenuhi oleh shale gas Amerika. Begitu pula dengan Korea Selatan. Jadi Indonesia akan punya banyak gas alam ketika 2 negara pengimpor menghentikan impor gas dari Indonesia.
Bisakah gas tersebut digunakan secara optimal untuk meningkatkan kapasitas industri dan ketenagalistrikan di Indonesia, sementara infrastrukturnya (pipanisasi gas) masih minim dan belum tahu kapan akan berkembang. Contohnya, Jawa Timur dengan Jawa Tengah dan Jawa Barat yang belum juga terhubung, padahal pemenang tendernya sudah lama ada.
Langkah ke Depan
Mau tidak mau atau suka tidak suka, Pemerintah harus segera membangun infrastruktur gas (pipanisasi) sepanjang mungkin dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sebanyak mungkin. Pipanisasi gas akan memudahkan penyedia gas untuk menyalurkan gasnya ke perumahan, industri dan SPBG sehingga dicapai optimalisasi peggunaan gas di Indonesia tercapai.
Pipanisasi menjadi sangat penting jika gas akan kita gunakan sebagai sumber energi primer pengganti BBM. Bukan terus menggunakan LPG yang mulai Juli 2014 mendatang akan naik secara berkala sebesar Rp 1.000/kg hingga harganya mencapai sekitar Rp 6.500/kg. Dengan semakin mahalnya harga LPG, maka penggunaan LPG untuk rumah tangga dan industri menjadi semakin tidak efisien dan harus dihentikan.
Cegah kemungkinan Singapura mengekpor shale gas asal Amerika ke Indonesia karena harganya lebih murah dari gas alam Indonesia. Singapura sudah membangun tangki penyimpanan gas raksasa dan siap-siap akan mengekpor shale gas asal Amerika ke Indonesia kalau kita tak segera membenahi infrastruktur gas alam kita.
Terakhir pastikan penggunaan atau peralihan sumber energi primer dari BBM ke gas alam dipayungi oleh peraturan perundang-undangan yang lengkap, supaya tidak terjadi kekacauan hukum di masyarakat. Tujuan akhirnya adalah gas alam Indonesia cemerlang untuk Indonesia yang gilang gemilang.
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen
(nwk/nwk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini