Saya bukan ahli pajak. Karenanya tidak bermaksud membuat opini soal perpajakan. Tulisan ini hanyalah catatan ringan, catatan kamisan. Termasuk pengalaman pribadi saya soal perpajakan di Australia.
Yang saya tahu, dari hasil riset kecil-kecilan di internet, penerimaan pajak adalah urat nadi dari ekonomi semua negara. Di Indonesia, tanpa penerimaan pajak, negara akan kolaps. Dari tahun ke tahun kontribusi penerimaan pajak atas APBN terus meningkat di antara 75 sampai dengan 85%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca Juga: Catatan Kamisan Denny Indrayana, Memotret Melbourne dan Australia
Masih soal angka. Bayangkan, kontribusi sekitar 80% atas APBN itu sebenarnya bersumber dari potensi pajak yang jauh dari maksimal. Data Ditjen Pajak tahun 2015, penduduk yang sudah punya NPWP baru 26,8 juta. Lebih sedikit lagi yang sudah memberikan laporan SPT yang hanya 10 juta. Angkanya terus mengecil hingga hanya sekitar 900 ribu yang melakukan pembayaran. Wajarlah kalau Indonesia dikatakan sebagai raksasa yang sedang tidur.
Tapi, bicara potensi pajak satu hal mudah. Menggali potensi itu, adalah hal lain yang lebih sulit. Ambil contoh kasus Panama Papers—yang beberapa saat lalu pernah ramai diberitakan. Dari 1038 wajib pajak Indonesia yang namanya tercantum dalam Panama Papers, hanya 225 yang melaporkan SPT, dan hanya 88 wajib pajak yang dinyatakan taat. Itulah indikasi kuat, bahwa penempatan asset di negara surga pajak, memang punya keterkaitan dengan upaya penggelapan pajak.
![]() |
Karena itu, kalau saya menjadi petugas pajak, saya akan ikuti arahan Presiden Jokowi untuk memfokuskan pelaksanaan kebijakan tax amnesty kepada pemegang asset di luar negeri tersebut. Lebih tegas lagi kepada para wajib pajak besar, yang saya yakin bank datanya sudah di tangan kantor pajak. Tentang Panama Papers dan penegakan hukum, saya ingin mengutip tulisan Sri Mulyani 14 April lalu, "Skandal Panama Papers tidak hanya mengingatkan kita tentang praktik penyembunyian kekayaan dan upaya menghindari pembayaran pajak di luar kelaziman, yang banyak ditemui dalam banyak kasus ilegal. Tapi kebocoran data-data memalukan itu memperlihatkan hal lain: kepercayaan publik dilanggar ketika perusahaan, orang kaya dan orang kuat dapat menyembunyikan uang mereka tanpa melanggar hukum. Jika pelanggaran tersebut dibiarkan hingga kasusnya tak terselesaikan, mereka yang tidak cukup kaya untuk menyembunyikan uangnya bakal enggan membayar dan berkontribusi pada kontrak sosial berwujud pembayaran pajak".
Baca Juga: Menteri Susi & Memancing Lestari di Melbourne
Saya setuju dengan Sri Mulyani. Jika skandal panama papers tidak dilakukan penegakan hukum secara tegas, jika kebijakan tax amnesty menyasar wajib pajak kecil, maka kontrak sosial bernegara akan semakin terluka, dan perekat sosial kebangsaan kita akan semakin rapuh. Apalagi bensin bagi terbakarnya kesatuan sosial itu sudah semakin mudah disulut. Sebagaimana dikutip dalam tulisan ekonom Faisal Basri, data Bank Dunia terbaru, tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan ekonomi yang amat tinggi. Indonesia menjadi negara peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Satu persen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Jika angkanya dinaikkan menjadi 10 persen terkaya, maka mereka menguasai 77 persen kekayaan nasional. Jadi 90 persen penduduk Indonesia sisanya hanya menikmati tidak sampai seperempat kekayaan nasional. Jangan lupa, penguasaan yang njomplang itu mayoritas dari etnis tertentu, yang mungkin lebih mudah tersulut kerusuhan sosial.
![]() |
Persoalan potensi kerusuhan sosial ini saya pikir harus diantisipasi secara serius oleh para petinggi dan pengambil keputusan di tanah air. Apalagi, jika keliru dalam penerapan, jika salah sasaran, jika yang kemudian menjadi target adalah wajib pajak kecil, sedangkan wajib pajak besar justru tetap "bebas-merdeka", maka kebijakan tax amnesty yang diniatkan baik, justru bisa menjadi bahan bakar baru timbulnya persoalan sosial. Maka, batas waktu pembayaran tax amnesty harus diantisipasi juga oleh aparat keamanan, agar tidak justru menimbulkan keresahan dan kerusuhan sosial.
Baca Juga: Arcandra, Gloria, Owi, dan Butet adalah Kita
Saya mengerti, tantangan untuk mengejar wajib pajak besar jauh lebih sulit. Apalagi, banyak wajib pajak besar itu membangun kerajaan bisnisnya di atas relasi koruptif dengan kekuasaan. Sebagaimana dikutip Faisal Basri, menurut The Economist, Indonesia adalah negara terburuk ketujuh dalam hal hubungan kroni bisnis antara penguasa dan pengusaha. Crony-capitalism index kita menunjukkan, sekitar dua pertiga kekayaan yang dikuasai orang kaya Indonesia diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa. Artinya, menyasar wajib pajak besar itu tidak mustahil adalah menyasar beberapa petinggi negeri kita sendiri, serta teman-teman bisnisnya. Inilah tantangan terbesar dari kebijakan tax amnesty di tanah air.
![]() |
Bagaimana dengan pengalaman penerapan sistem perpajakan di Australia.
Sebagaimana halnya dengan di Indonesia, pajak adalah urat nadi anggaran negara Kanguru. Sekitar 70% anggaran pemerintah federal Australia berasal dari pajak. Kontribusi terbesar dari penerimaan pajak itu berasal dari pajak penghasilan individu (individual income tax), yaitu sekitar 48% dari seluruh pendapatan pemerintah federal. Agar adil, sistem pembayaran pajak individual ini dibuat berjenjang sesuai besarnya penghasilan. Yaitu dari penghasilan yang tidak kena pajak atau 0%, jika setahun hanya mendapatkan penghasilan kurang dari $18.200, hingga yang terkena pajak tertinggi sampai 45% untuk yang berpenghasilan di atas $ 180.000 per tahun. Dengan sistem pembayaran demikian, pajak di Australia di bayar lebih banyak oleh yang berpendapatan lebih tinggi. Data bulan Juli 2015, 50% pajak penghasilan individu yang terkumpul, berasal dari 10% pembayar pajak. Hal demikian menunjukkan, sistem perpajakan telah berhasil menyasar wajib pajak kelas kakap.
Sistem perpajakan yang tidak menyasar wajib pajak kecil demikian makin kokoh dengan dampak nyata dari pembayaran pajak atas berbagai aspek pembangunan, terutama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Dari sisi pembelanjaan, sekitar 50% anggaran negara diperuntukkan untuk masalah jaminan sosial dan kesehatan, yang dananya—sekali lagi berasal dari pembayaran pajak warga Australia sendiri.
Baca Juga: Mengatasi Hantu Macet di Melbourne
Saya dan istri merasakan langsung bagaimana sistem perpajakan di Australia berjalan baik, utamanya bagi kami yang berpenghasilan menengah, dan menjadi wajib pajak Australia.
Sewaktu saya mengambil studi doktoral di Melbourne Law School pada tahun 2002 – 2005, istri saya sempat bekerja paruh waktu sebagai pengajar pada sekolah CERES. Saat itu Rossy mengajar budaya Indonesia, seperti wayang dan cara pembuatan batik. Sebagaimana semua pekerja di Australia, maka Rossy wajib mempunyai Tax File Number yang bisa didapat dengan mudah melalui kantor pajak atau secara online. Pada akhir tahun pajak, Rossy kemudian mendapatkan pengembalian pembayaran pajaknya (tax refund) dan juga pembayaran uang pensiun (superannuation) yang bahkan diterima setelah kami kembali dan berada di Indonesia.
![]() |
NPWP Australia
Saya sendiri juga mempunyai tax file number meskipun tidak resmi bekerja saat mengambil program doktor itu. TFN saya dapatkan karena, sebagai penerima beasiswa AusAID, anak saya mendapatkan subsidi biaya pendidikan di childcare. Tetapi untuk menerima bantuan pendidikan anak itu, saya diwajibkan mempunyai kartu bantuan sosial di centrelink, dan juga wajib memiliki nomor pajak. Hal demikian menunjukkan bahwa sistem jaminan sosial, pendidikan anak, dan perpajakannya sudah terkoneksi dengan baik.
Ketika tahun 2015, sebelas tahun setelah saya telah lulus dan kembali ke Indonesia, saya diterima sebagai Profesor di Melbourne Law School dan Faculty or Arts, nomor pajak saya ditanyakan untuk kepentingan pembayaran gaji. Dengan menelepon kantor pajak Australia, menyebutkan nama, tanggal lahir dan beberapa identitas diri lainnya, nomor pajak saya kembali bisa diaktifkan. Sekali lagi, kemudahan itu menunjukkan sistem perpajakan juga telah terkoneksi baik dengan data kependudukan dan keimigrasian.
Sebulan yang lalu, meskipun baru bekerja kurang dari dua bulan, saya mencoba melakukan klaim kelebihan pembayaran pajak secara online. Walaupun ada beberapa pertanyaan teknis perpajakan yang perlu kami pikirkan, saya berhasil melakukan klaim pengembalian pajak. Yang lebih mengagumkan, sekitar satu minggu sejak klaim pembayaran dilakukan, tax refund sudah langsung dibayarkan dan masuk ke rekening bank yang kami berikan. Semuanya dilakukan secara online, tanpa sedikitpun saya melakukan interaksi baik langsung ataupun tidak langsung dengan petugas pajak.
Kembali ke Indonesia dan tax amnesty, saya melihat, reformasi perpajakan sudah pula coba dilakukan di tanah air. Pelayanan berbasis teknologi, termasuk sistem online perpajakan sudah dilakukan. Saya optimistis, di bawah kepemimpinan Menkeu Sri Mulyani, arah sistem perpajakan kita akan menjadi lebih baik. Dengan kepemimipinan, integritas-moral, dan kapasitas-intelektual SMI, saya yakin tantangan menyasar wajib pajak besar dalam kebijakan tax amnesty bisa dihadapi dengan tepat.
Keep on fighting for the better Indonesia.
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
Visiting Professor Melbourne Law School Faculty of Arts University of Melbourne