Negeri Sakura Kini Dipimpin Sanae Takaichi yang Pilih 'Kerja, Kerja, Kerja'

Negeri Sakura Kini Dipimpin Sanae Takaichi yang Pilih 'Kerja, Kerja, Kerja'

Haris Fadhil - detikNews
Rabu, 22 Okt 2025 06:44 WIB
Japans Prime Minister contender Sanae Takaichi speaks at the Liberal Democratic Partys (LDP) leadership election in Tokyo, Japan, October 4, 2025. REUTERS/Kim Kyung-Hoon/Pool
Sanae Takaichi (Foto: REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
Tokyo -

Parlemen Jepang memilih Sanae Takaichi sebagai Perdana Menteri (PM) Jepang yang baru. Takaichi menjadi perempuan pertama yang menjabat PM Jepang.

Takaichi menjadi PM kelima Jepang dalam beberapa tahun terakhir. Dia akan memimpin pemerintahan minoritas dan memiliki kabinet penuh.

Dilansir kantor berita AFP, Selasa (21/10/2025), parlemen Jepang menunjuk Takaichi sebagai perdana menteri pada hari Selasa (21/10), setelah dia secara tak terduga memenangkan mayoritas suara dalam putaran pertama pemungutan suara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia akan resmi menjabat setelah bertemu dengan kaisar yang dijadwalkan pada Selasa (21/10) malam. Mantan drummer heavy metal ini lebih dulu terpilih menjadi ketua partai berkuasa, Partai Demokrat Liberal (LDP), yang telah memerintah Jepang hampir tanpa henti selama beberapa dekade pada 4 Oktober lalu.

Enam hari kemudian, Partai Komeito, yang merasa tidak nyaman dengan pandangan konservatif Takaichi dan skandal dana gelap LDP, keluar dari koalisi mereka. Hal itu membuat Takaichi harus membentuk aliansi dengan Partai Inovasi Jepang (JIP) yang reformis dan berhaluan kanan. Kesepakatan tercapai pada Senin (20/10) malam.

ADVERTISEMENT

JIP ingin menurunkan tarif pajak konsumsi makanan menjadi nol, menghapuskan sumbangan perusahaan dan organisasi, serta mengurangi jumlah anggota parlemen. Takaichi pun berjanji untuk 'memperkuat ekonomi Jepang, dan membentuk kembali Jepang sebagai negara yang dapat bertanggung jawab bagi generasi mendatang'.

Kini, perhatian tertuju pada rencana belanja besar-besaran yang diajukan Takaichi. Penambahan belanja itu dikhawatirkan dapat mengguncang kepercayaan investor kepada salah satu negara dengan utang tertinggi di dunia tersebut.

Posisi nasionalistik Takaichi juga diprediksi berpotensi memicu gesekan dengan China. Takaichi diperkirakan akan menjamu Presiden AS Donald Trump pada 27 Oktober, yang akan menjadi tantangan besar pertamanya.

Sosok Takaichi

Dilansir DW, Mantan Menteri Keamanan Ekonomi dan Dalam Negeri Jepang ini telah berulang kali menyebut mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, sebagai sumber inspirasinya. Dia menyanjung karakter kuat dan keyakinan sang 'Iron Lady', yang menurutnya tetap berpadu dengan 'kehangatan Keibuan'.

Dia mengaku pernah bertemu Thatcher dalam sebuah simposium tak lama sebelum mantan PM Inggris itu meninggal pada tahun 2013. Seperti Thatcher, Takaichi juga tumbuh dari pinggiran.

Dia berasal dari keluarga polisi dan buruh bengkel, sebelum perlahan naik ke inti kekuasaan yang biasanya diwariskan. Namun berbeda dengan Thatcher yang dikenal ketat dalam disiplin anggaran, Takaichi justru mendukung kelonggaran fiskal dan kebijakan moneter yang lebih terbuka. Hal ini turut menggoyah kepercayaan investor terhadap ekonomi terbesar keempat di dunia itu.

Sebagai pendukung lama doktrin ekonomi 'Abenomics' dari mendiang Perdana Menteri Shinzo Abe, dia menuntut penambahan belanja pemerintah dan pemotongan pajak, serta berjanji untuk kembali memperkuat pengaruh eksekutif atas bank sentral. Dia juga berjanji membentuk pemerintahan dengan 'jumlah perempuan seperti di negara-negara Nordik'.

Dia pernah berbicara terbuka tentang perjuangannya menghadapi menopause dan kini bertekad meningkatkan kesadaran tentang masalah kesehatan perempuan. Jepang sendiri masih sangat patriarkal dan menempati peringkat ke-118 dari 148 negara dalam Laporan Kesenjangan Gender Global 2025 dari World Economic Forum, dengan hanya sekitar 15% anggota majelis rendah adalah perempuan.

Meski demikian, Takaichi secara terbuka menentang revisi undang-undang abad ke-19 yang mewajibkan pasangan menikah untuk menggunakan nama keluarga yang sama, serta menghendaki agar keluarga kekaisaran tetap mempertahankan garis suksesi laki-laki. Dia juga menjanjikan tindakan tegas terhadap orang asing yang melanggar aturan, isu yang sensitif di tengah peningkatan jumlah migran dan turis di Jepang.

Dia memulai salah satu pidato kampanyenya dengan kisah tentang wisatawan yang menendang rusa di kota kelahirannya, Nara. Takaichi juga dikenal tidak asing dengan membuat 'kegaduhan'.

Dia dikenal rutin mengunjungi kuil Yasukuni, yang menghormati para korban perang Jepang, termasuk beberapa penjahat perang yang dieksekusi, dan dipandang oleh sebagian negara tetangga Asia sebagai simbol militerisme masa lalu Jepang. Dia juga mendukung revisi konstitusi pascaperang Jepang yang bersifat pasifis, serta pernah menyarankan bahwa Jepang dapat membentuk 'aliansi keamanan semu' dengan Taiwan, pulau yang disebut China bagian dari wilayahnya.

Namun, teman-teman dan para pendukungnya di Nara menyebut ada sisi lembut dari politisi konservatif itu. Yukitoshi Arai, mantan penata rambutnya, mengatakan gaya rambut Takaichi yang dijulukinya 'Potongan Sanae', dirancang untuk menunjukkan bahwa dia peduli pada orang lain.

"Modelnya ramping, tajam, dan bergaya. Sisi rambutnya panjang, tapi ia sengaja menyelipkannya di balik telinga untuk menunjukkan bahwa dia mendengarkan orang lain dengan saksama," katanya.

Takaichi lulus dari Universitas Kobe dengan gelar manajemen bisnis, sebelum bekerja sebagai fellow di Kongres Amerika Serikat, menurut situs web pribadinya. Dia memulai karier politiknya dengan memenangkan kursi di majelis rendah pada 1993 sebagai calon independen, sebelum bergabung dengan LDP pada 1996.

Dikritik gegara Ogah 'Work Life Balance'

Sebelum resmi ditunjuk sebagai PM Jepang, Takaichi menyatakan dirinya akan mengabaikan 'work life balance' atau keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan. Hal itu membuat Takaichi dikritik sekelompok pengacara Jepang yang menangani karoshi atau kematian akibat kerja berlebihan.

Mereka memprotes pernyataan Takaichi yang menyerukan anggota partainya untuk 'bekerja seperti kuda pekerja'. Dilansir Japan Times dan Mainichi, Takaichi menyampaikan pernyataan tersebut dalam pidato setelah memenangkan pemilihan ketua LDP.

Dia telah mengatakan di hadapan sesama anggota parlemen bahwa 'Saya akan membuat semua orang bekerja seperti kuda'. Dia juga akan meninggalkan gagasan 'Work-life balance'.

"Saya sendiri akan meninggalkan gagasan keseimbangan kehidupan dan pekerjaan. Saya akan bekerja, bekerja, bekerja, bekerja, dan bekerja," ujar calon PM wanita pertama Jepang ini.

Ucapan dari Takaichi itulah yang dikritik Dewan Pembela Nasional untuk Korban Karoshi. Mereka menuntut Takaichi untuk mencabut pernyataannya dan berargumen bahwa sikapnya 'dapat memaksa para pekerja, termasuk pegawai pemerintah, untuk bekerja berlebihan dan bekerja dalam jam kerja yang panjang serta dapat membangkitkan kembali mentalitas yang sudah ketinggalan zaman'.

Kelompok ini dipimpin oleh Hiroshi Kawahito yang merupakan pengacara mewakili keluarga karyawan biro iklan besar yang bunuh diri diduga terlalu banyak bekerja. Keluarga seorang birokrat Kementerian Dalam Negeri Jepang yang bunuh diri pada tahun 2014 juga menyatakan kemarahan atas pernyataan Takaichi dan mendesaknya untuk merenungkan lagi pernyataannya itu terlalu banyak bekerja.

Halaman 2 dari 5
(haf/haf)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads