Otoritas Israel mengerahkan pasukan influencer di media sosial untuk mempengaruhi opini publik mengenai perang yang terus berkecamuk di Jalur Gaza. Setiap influencer dilaporkan mendapatkan bayaran fantastis hingga mencapai sebesar US$ 7.000 atau setara Rp 116,2 juta per postingan propaganda Israel.
Langkah semacam itu, seperti dilansir Middle East Monitor, Jumat (3/10/2025), dilakukan saat opini publik global mulai bergeser secara tajam dalam menentang perang yang dikobarkan Israel di di Jalur Gaza, dengan tuduhan genosida terhadap negara Yahudi itu semakin meluas.
Dalam operasi yang digencarkan di media sosial, Israel semakin mengintensifkan upaya-upaya untuk mendominasi ruang informasi melalui jaringan influencer berbayar, manipulasi algoritma, content framing melibatkan AI, dan kemitraan media secara rahasia atau diam-diam.
Praktik itu terungkap dari dokumen yang diajukan berdasarkan Undang-undang Pendaftaran Agen Asing Amerika Serikat (AS), yang menunjukkan bagaimana kampanye Israel secara luas dirancang untuk mendistorsi wacana publik, terutama di kalangan muda, dan menangkis tuduhan genosida yang semakin meningkat.
Kementerian Luar Negeri Israel, melalui kontraktor Bridges Partners, dilaporkan telah membayar hingga US$ 7.000 (Rp 116,2 juta) per postingan kepada para influencer untuk memposting konten pro-Israel di platform seperti TikTok dan Instagram.
Menurut laporan Responsible Statecraft, operasi "Kampanye Influencer" ini memiliki anggaran sebesar US$ 900.000 (Rp 14,9 miliar) yang mencakup pembayaran 75-90 postingan antara Juni hingga September 2024. Konten tersebut diproduksi di bawah sebuah inisiatif yang disebut "Proyek Esther".
Nama tersebut mirip dengan inisiatif terpisah oleh lembaga think-tank sayap kanan AS, Heritage Foundation, yang meluncurkan "Proyek Esther" mereka pada Oktober 2024. Kampanye ini fokus mengidentifikasi dan melawan retorika "antisemitisme" di kampus-kampus AS dan dalam wacana publik.
Kedua proyek itu, menurut Responsible Statecraft, tidak berkaitan secara resmi, namun memiliki tujuan ideologis yang sama, yakni mengkategorikan solidaritas Palestina dan kritikan terhadap Israel sama dengan ekstremisme demi mendelegitimasi perbedaan pendapat.
(nvc/ita)