Larangan untuk Wanita Usai Sistem Hukum Dirombak Taliban

Larangan untuk Wanita Usai Sistem Hukum Dirombak Taliban

Haris Fadhil - detikNews
Senin, 26 Agu 2024 22:05 WIB
Taliban rombak sistem hukum Afghanistan, larang perempuan terlibat dalam proses peradilan
Nazdana mengatakan dia merasa tidak didengarkan oleh otoritas kehakiman Taliban (BBC)
Kabul -

Taliban melakukan perombakan hukum di Afghanistan. Kini, perempuan dilarang untuk terlibat dalam proses peradilan di negara itu.

Dilansir BBC, Senin (26/8/2024), Taliban melakukan perombakan sistem hukum yang mereka lakukan di Afghanistan dan dampak besar pada kehidupan masyarakat, khususnya perempuan. Perombakan ini dilakukan setelah Taliban kembali berkuasa 3 tahun lalu.

Taliban mengatakan mereka bekerja keras untuk mengembalikan kebijakan lalu dan membatalkan putusan pengadilan sebelumnya. Taliban juga menawarkan permohonan banding gratis kepada masyarakat umum.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini menyebabkan melonjaknya puluhan ribu kasus pengadilan lama yang diadili kembali berdasarkan Syariah (Hukum Islam) yang diberlakukan Taliban dan perempuan khususnya merasakan dampaknya. Beberapa perceraian yang dikabulkan di bawah rezim lama menjadi dinyatakan tidak sah dan memaksa perempuan untuk kembali ke pernikahan yang tidak diinginkan.

Sementara, hakim perempuan tidak diikutsertakan dalam sistem hukum: 'Perempuan tidak memenuhi syarat atau tidak mampu mengadili karena dalam prinsip syariah kita, aktivitas peradilan memerlukan orang-orang dengan kecerdasan tinggi.'

ADVERTISEMENT

Cerita Wanita Dipanggil Kembali ke Pengadilan

Sepuluh hari setelah Taliban kembali berkuasa, Nazdana yang berusia 20 tahun sedang membantu ibunya di dapur. Dia sempat mendekat untuk mendengar ucapan ayahnya yang baru kembali ke rumah. Dia mengaku menangis saat mendengar ucapan ayahnya yang menyebut kasus perceraiannya kembali dibuka pengadilan Taliban di daerah asalnya, Uruzgan.

"Ketika saya mendengar nama saya, jantung saya mulai berdebar kencang dan saya menangis," kata Nazdana

Dia dipanggil kembali oleh pengadilan untuk sidang perceraian dengan pria yang tak pernah ingin dinikahinya. Ketika Nazdana baru berusia tujuh tahun, ayahnya setuju dia akan dinikahkan ketika putrinya berusia remaja demi menyelesaikan perselisihan keluarga.

Dikenal sebagai 'pernikahan yang buruk', praktik ini berupaya mengubah 'musuh' keluarga menjadi 'teman'. Saat Nazdana berusia 15 tahun, Hekmatullah datang untuk membawa 'istrinya' itu pulang. Namun, Nazdana langsung mengajukan perceraian dan akhirnya mendapatkan kembali kebebasannya.

"Saya berulang kali mengatakan kepada pengadilan bahwa saya tidak bersedia menikah dengannya," kata Nazdana.

"Setelah hampir 2 tahun berjuang, saya akhirnya memenangkan kasus ini. Pengadilan mengucapkan selamat kepada saya dan berkata, 'Kalian kini berpisah dan bebas menikah dengan siapa pun yang kalian inginkan'," sambungnya.

Ketika merayakan perceraiannya, Nazdana mengadakan acara silaturahmi di desanya dan membagikan makanan kepada teman dan tetangga di masjid setempat. Namun setahun kemudian, Taliban mengambil alih kekuasaan dan dengan cepat memperkenalkan interpretasi syariah (hukum Islam) yang ketat di seluruh negeri.

Mantan suaminya, Hekmatullah yang sekarang menjadi anggota Taliban mengajukan permintaan ke pengadilan untuk membatalkan putusan yang dibuat pada pemerintahan sebelumnya. Kali ini, Nazdana tak akan diikutsertakan dalam proses persidangan sesuai dengan syariah Islam yang diinterpretasikan Taliban.

"Di pengadilan, Taliban bilang pada saya bahwa saya tidak boleh kembali ke pengadilan karena itu bertentangan dengan syariah. Mereka mengatakan bahwa saudara laki-laki saya harus mewakili saya," kata Nazdana.

"Mereka mengatakan kepada kami jika kami tidak mematuhinya, mereka akan menyerahkan saudara perempuan saya kepadanya (Hekmatullah) dengan paksa," kata saudara laki-laki Nazdana, Shams (28).

Meskipun Shams memohon kepada hakim bahwa putusan baru tersebut akan membahayakan nyawa saudara perempuannya, pengadilan membatalkan putusan sebelumnya dan memutuskan Nazdana harus segera kembali ke mantan suaminya, Hekmatullah. Nazdana pun mengajukan banding atas putusan hakim demi mengulur waktu untuk meninggalkan negara itu. Bersama saudara laki-lakinya dia meninggalkan kampung halamannya dan melarikan diri ke negara tetangga.

Sejak melarikan diri ke negara tetangga, Nazdana menghabiskan satu tahun berlindung di bawah pohon, di trotoar kecil di antara dua jalan yang sibuk. Dia duduk sambil memegang seikat dokumen yang terikat erat satu-satunya bukti identitasnya sebagai perempuan lajang yang bebas.

"Saya sudah mengetuk banyak pintu untuk meminta bantuan, termasuk PBB, tapi belum ada yang mendengar suara saya. Dimana dukungannya? Bukankah saya berhak mendapatkan kebebasan sebagai perempuan?" ujarnya.

Hakim di Uruzgan tidak mau berbicara kepada media, namun kami berhasil mengunjungi Mahkamah Agung Taliban di ibu kota Kabul untuk mencari jawaban.

"Hakim kami mempelajari kasus ini dari semua sudut dan memutuskan mendukung Hekmatullah," kata juru bicara di Mahkamah Agung, Abdulwahid Haqani.

"Putusan pemerintahan korup sebelumnya yang membatalkan pernikahan Hekmatullah dan Nazdana bertentangan dengan syariah dan aturan pernikahan. Karena pada saat sidang, Hekmatullah tidak hadir," sambung Haqani.

Kami mencoba mendapatkan tanggapan dari Hekmatullah tetapi kami tidak dapat menghubunginya. Nazdana hanyalah satu dari sekitar 355.000 kasus yang diklaim telah diselesaikan oleh pemerintah Taliban sejak mengambil alih kekuasaan pada Agustus 2021.

Taliban mengatakan sebagian besar berkas tersebut adalah kasus pidana diperkirakan 40% adalah sengketa tanah dan 30% lainnya adalah kasus keluarga, termasuk masalah perceraian. BBC tidak dapat memverifikasi angka yang diberikan oleh pemerintah Taliban.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Perempuan dalam sistem peradilan

Saat Taliban kembali berkuasa, mereka berjanji untuk menghapus korupsi di masa lalu dan memberikan 'keadilan'. Mereka secara sistematis memberhentikan semua hakim dan menyatakan bahwa perempuan tidak layak untuk berpartisipasi dalam sistem peradilan.

"Perempuan tidak memenuhi syarat atau mampu menilai karena dalam prinsip syariah kami, kegiatan peradilan memerlukan orang-orang dengan kecerdasan tinggi," kata Direktur hubungan luar negeri dan komunikasi di Mahkamah Agung Taliban, Abdulrahim Rashid.

Mantan hakim Mahkamah Agung Afghanistan, Fawzia Amini, adalah salah satu hakim perempuan yang dicopot oleh Taliban. Dia mengatakan perempuan seperti Nazdana harus dilindungi hukum.

"Jika seorang perempuan menceraikan suaminya dan dokumen pengadilan tersedia sebagai bukti, maka itu sudah final. Keputusan hukum tidak bisa berubah karena rezim berubah," kata Amini.

Amini juga mengatakan pemecatan hakim perempuan akan menghentikan perlindungan hukum baru bagi perempuan.

"Kami memainkan peran penting. Misalnya, UU Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2009 yang merupakan salah satu pencapaian kami," ujarnya.

"Kami juga mengerjakan peraturan tentang tempat penampungan bagi perempuan, perwalian anak yatim dan undang-undang anti-pelacakan manusia, dan masih banyak lagi," sambungnya.

Setelah lebih dari satu dekade bekerja di puncak sistem hukum Afghanistan, hakim Amini terpaksa meninggalkan negara tersebut. Ketika Taliban mengambil alih kekuasaan, dia mengungkapkan mulai menerima ancaman pembunuhan dari orang-orang yang pernah dia hukum sebelumnya.

"Hukum perdata kita sudah berusia lebih dari setengah abad. Ini sudah dipraktikkan bahkan sebelum Taliban didirikan," kata Amini.

"Semua hukum perdata dan pidana, termasuk hukum perceraian, telah diadaptasi dari Al-Quran," sambungnya. Taliban mengatakan para mantan penguasa Afghanistan tidak cukup Islami.

Aturan Syariah Islam yang Diinterpretasikan Taliban

Di Mahkamah Agung Taliban, tim BBC diperlihatkan sebuah ruangan tempat tumpukan kasus-kasus pengadilan disimpan di rak-rak sebuah ruang kantor kecil tempat para staf dari pemerintahan sebelumnya dan yang baru ditunjuk oleh Taliban berbagi meja.

Sebagian besar kasus-kasus tersebut diawasi pada rezim sebelumnya dan peradilan baru membuka kembali kasus-kasus tersebut setelah adanya permohonan banding baru.

"Pengadilan sebelumnya mengambil keputusan berdasarkan hukum pidana dan perdata. Tapi sekarang semua keputusan didasarkan pada Syariah (hukum Islam)," kata Abdulrahim Rashid.

Taliban sebagian besar mengandalkan hukum agama Hanafi Fiqh (yurisprudensi) yang berasal dari abad ke-8 dan dipraktikkan di seluruh dunia Islam di berbagai tempat seperti kekaisaran Ottoman dan hingga saat ini di berbagai negara Islam.

Larangan Lain bagi Perempuan

Pemerintah Taliban juga mengeluarkan aturan baru yang melarang kaum perempuan bersuara keras dan bernyanyi di depan umum. Undang-Undang (UU) tersebut dikeluarkan pekan lalu setelah disetujui oleh pemimpin tertinggi Taliban, Hibatullah Akhundzada. Aturan baru tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari seperti transportasi umum, musik, bercukur, dan perayaan.

Dilansir Associated Press dan CNN, di antara aturan-aturan baru tersebut, Pasal 13 berkaitan dengan perempuan. Pasal itu menyatakan perempuan wajib menutupi tubuhnya setiap saat di depan umum dan penutup wajah sangat penting untuk menghindari godaan dan menggoda orang lain. Pakaian tidak boleh tipis, ketat, atau pendek.

Perempuan juga diwajibkan untuk menutupi diri mereka di depan laki-laki dan perempuan non-Muslim. Suara perempuan dianggap intim sehingga tidak boleh terdengar bernyanyi atau membaca dengan suara keras di depan umum. Taliban juga melarang kaum perempuan memandang pria yang tidak memiliki hubungan darah atau pernikahan dengan mereka, begitu pula sebaliknya.

"Insyaallah kami jamin bahwa hukum Islam ini akan sangat membantu dalam mempromosikan kebajikan dan menghapuskan keburukan," kata pejabat pemerintah, Maulvi Abdul Ghafar Farooq, pada Kamis waktu setempat.

Dokumen setebal 114 halaman dan 35 pasal yang dilihat oleh The Associated Press merupakan deklarasi formal pertama tentang hukum kejahatan dan keburukan di Afghanistan, sejak Taliban merebut kekuasaan pada tahun 2021. UU tersebut juga memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengatur perilaku pribadi, memberikan hukuman seperti peringatan atau penangkapan, jika penegak hukum menduga ada warga Afghanistan yang melanggar.

UU itu juga melarang penerbitan gambar makhluk hidup, pemutaran musik, pencampuran pria dan wanita yang tidak memiliki hubungan keluarga.

Halaman 2 dari 2
(haf/haf)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads