Kebocoran air radioaktif terjadi di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima di Jepang. Diperkirakan 5.500 liter air radioaktif bocor dari PLTN tersebut, namun tidak ada tanda-tanda kontaminasi yang terdeteksi di luar fasilitas tersebut.
Juru bicara operator pembangkit nuklir Fukushima, Tokyo Electric Power Co (TEPCO), mengatakan kepada AFP, bahwa kebocoran terdeteksi di bagian pabrik yang memproses air yang terkontaminasi.
"Kami memperkirakan sekitar 5,5 ton (5.500 liter) air bocor" pada Rabu pagi, namun "tidak ada perubahan signifikan" di pos-pos pemantauan radioaktivitas di sekitar pembangkit listrik, kata juru bicara TEPCO, dilansir kantor berita AFP, Kamis (8/2/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, TEPCO berencana untuk membuang tanah di sekitar area yang mungkin telah terkontaminasi, kata juru bicara tersebut, tanpa memberikan rincian spesifik mengenai lokasi kebocoran air.
Kebocoran pada hari Rabu (7/2) waktu setempat itu terjadi di fasilitas yang memproses air sebelum sebagian besar unsur radioaktif disaring di fasilitas canggih berbeda yang dikenal sebagai ALPS.
TEPCO mengatakan kebocoran dari ventilasi diketahui oleh seorang pekerja yang sedang membersihkan ventilasi sebelum mengoperasikan fasilitas tersebut.
"Ventilasi seharusnya ditutup selama pembersihan, tapi kali ini terbuka," kata juru bicara TEPCO.
Pembangkit listrik Fukushima rusak akibat gempa bumi besar dan tsunami pada tahun 2011 yang menewaskan 18.000 orang. Itu adalah salah satu bencana nuklir terburuk dalam sejarah.
Operasi pembersihan diperkirakan akan memakan waktu puluhan tahun, dan bagian yang paling berbahaya - menghilangkan bahan bakar radioaktif dan puing-puing dari tiga reaktor yang rusak - belum dimulai.
Pada bulan Agustus lalu, otoritas Jepang mulai secara bertahap melepaskan 1,34 juta ton air limbah olahan yang dikumpulkan sejak bencana ke Samudera Pasifik. Otoritas Jepang menyatakan air limbah tersebut tidak berbahaya dan sangat encer dengan air laut.
Pandangan ini didukung oleh pengawas atom PBB, namun pemerintah China dan Rusia mengkritik pelepasan tersebut dan melarang impor makanan laut Jepang.