Seorang pensiunan perwira militer Kolombia mengaku bersalah karena membantu merencanakan dan melakukan pembunuhan Presiden Haiti Jovenel Moise di rumahnya pada Juli 2021.
German Rivera, juga dikenal sebagai Kolonel Mike, mengaku bersalah atas tiga dakwaan, yang dapat membuatnya dipenjara di Amerika Serikat seumur hidupnya. Demikian menurut berkas-berkas yang diajukan ke pengadilan federal di Florida, dikutip kantor berita AFP, Jumat (8/9/2023).
Jovenel yang berusia 53 tahun, ditembak mati pada 7 Juli 2021 di kediaman pribadinya di dekat Port-au-Prince, ibu kota Haiti, oleh kelompok sewaan yang terdiri dari sekitar 20 warga Kolombia yang terlatih secara militer. Pasukan pengawalnya tidak melakukan intervensi saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rivera, bersama beberapa orang lainnya, telah didakwa berdasarkan hukum AS karena rencana pembunuhan tersebut sebagian diorganisir di Florida, AS.
Pada bulan Februari, Jaksa AS, Markenzy Lapointe mengatakan bahwa yang mendasari serangan terhadap Jovenel adalah nafsu akan uang dan kekuasaan.
Lapointe mengatakan bahwa dua manajer perusahaan keamanan Miami, CTU, menyusun rencana untuk menculik Moise dan menggantikannya dengan Christian Sanon, warga negara Haiti-Amerika yang ingin menjadi presiden negara Karibia tersebut.
Sebagai imbalan atas penggulingan Moise, mereka dijanjikan kontrak yang menguntungkan untuk membangun infrastruktur dan menyediakan pasukan keamanan dan peralatan militer di pemerintahan masa depan yang dipimpin oleh Sanon, yang juga didakwa di Amerika Serikat.
Plot tersebut pada awalnya bertujuan untuk menculik presiden Haiti tersebut, tetapi kemudian berkembang menjadi pembunuhan, menurut berkas pengadilan.
Simak juga 'Saat Banjir di Haiti Mengakibatkan 42 Orang Tewas-11 Hilang':
Pada bulan Juni lalu, anggota konspirasi lainnya, Rodolphe Jaar, warga Haiti-Chili, mengaku bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena perannya dalam memasok senjata untuk melakukan pembunuhan tersebut.
Haiti telah berada dalam kekacauan sejak pembunuhan Jovenel.
Geng-geng menguasai sekitar 80 persen ibu kota Haiti. Rentetan kejahatan dengan kekerasan seperti penculikan untuk mendapatkan uang tebusan, perampokan bersenjata, dan pembajakan mobil terus meningkat di negara Karibia yang miskin tersebut.
Pekan lalu, pejabat tinggi PBB untuk urusan kemanusiaan, Martin Griffiths, mengecam "kebrutalan ekstrem" kekerasan terkait geng di negara Karibia tersebut. "Pembantaian ini harus dihentikan," tulis Griffiths di Twitter yang kini berganti nama menjadi X.