Donald Trump dan Jair Bolsonaro sepertinya memiliki nasib sama usai tak lagi jadi orang nomor 1 di negara masing-masing. Pendukungnya bikin rusuh hingga bikin dua tokoh itu diusut lewat proses hukum.
Donald Trump merupakan mantan Presiden Amerika Serikat (AS). Dia menjabat pada 2017 hingga 2021. Setelah Trump kalah dalam Pemilu, pendukungnya ngamuk.
Pendukung Trump menyerang Gedung Capitol di Washington DC pada 6 Januari 2021. Nama Trump pun terseret peristiwa itu karena dianggap sebagai penghasut serangan.
Kerusuhan di Capitol, yang merupakan Gedung Parlemen AS, menyebabkan empat orang pengunjuk rasa dan seorang polisi tewas. Selain itu, ada 140 orang petugas yang terluka.
Setelah kerusuhan terjadi, gugatan pun mulai dilayangkan berbagai pihak ke Donald Trump. Salah satunya diajukan oleh seorang anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Bernie Thompson, pada Februari 2021.
Gugatan itu menuduh Trump, pengacaranya Rudy Giuliani dan dua kelompok ekstremis sayap kanan, Proud Boys dan Oath Keepers, telah berkonspirasi untuk menghasut penyerbuan dan kerusuhan di Gedung Capitol. Gugatan hukum ini diajukan ke pengadilan federal di Washington DC sekitar 3 hari setelah Trump dibebaskan dari dakwaan pemakzulan, yakni menghasut pemberontakan, dalam sidang di Senat AS.
Sebanyak 57 Senator dari total 100 Senator menetapkan Trump bersalah, namun jumlah itu tidak mencapai mayoritas dua pertiga yang dibutuhkan untuk menyatakan dia bersalah dan dimakzulkan sepenuhnya.
Trump kemudian digugat lagi oleh dua orang polisi Capitol. Dilansir AFP, Rabu (31/3/2021), dua polisi Capitol yang bernama James Blassingame dan Sidney Hemby mengajukan gugatan ini ke pengadilan federal di Washington DC pada Selasa (30/3) waktu setempat.
Dalam gugatannya, kedua polisi ini menyatakan telah mengalami 'cedera fisik dan emosional' dalam kerusuhan yang mereka sebut digerakkan oleh Trump. Seperti diketahui, Trump menolak menerima kekalahan dalam pilpres 2020.
Penggugat menganggap para pemberontak didorong oleh perilaku Trump selama berbulan-bulan dalam membuat para pengikutnya mempercayai tuduhan palsu soal dirinya akan dipaksa keluar Gedung Putih karena kecurangan Pemilu besar-besaran.
"Massa pemberontak, yang telah dikobarkan, didorong, dihasut, diarahkan, dan dibantu dan bersekongkol, memaksa masuk dan melewati penggugat dan rekan sesama polisi, mengejar dan menyerang mereka," demikian isi gugatan tersebut.
Gugatan itu pada dasarnya menuduh Trump telah mengarahkan dan bersekongkol dalam penyerangan dan pemukulan dan memicu tekanan emosional, menghasut kerusuhan, dan melanggar undang-undang keselamatan publik. Kedua polisi AS ini meminta pengadilan untuk memerintahkan pembayaran kompensasi wajib masing-masing minimum US$ 75 ribu (Rp 1 miliar) dan hukuman ganti rugi yang jumlahnya tidak disebutkan.
Proses hukum pun berjalan hingga Mahkamah Agung AS menolak permintaan Trump untuk memblokir catatan serbuan Gedung Capitol oleh para pendukungnya. Dilansir Reuters, Selasa (22/2/2022), keputusan pengadilan yang secara resmi menolak banding Trump itu diikuti perintah yang menyebabkan dokumen diserahkan kepada komite investigasi DPR oleh badan federal. Dokumen itu menyimpan catatan pemerintah dan sejarah.
Pengadilan Banding AS untuk Sirkuit Distrik Columbia pada 9 Desember 2021 menguatkan putusan pengadilan kalau Trump tidak memiliki dasar menentang keputusan Presiden AS Joe Biden yang mengizinkan catatan itu diserahkan kepada komite terpilih DPR. Trump kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Agung.
Trump dan pendukungnya telah mengobarkan pertempuran hukum yang sedang berlangsung dengan komite terpilih DPR yang berusaha memblokir akses ke dokumen dan saksi. Trump saat itu juga berusaha untuk menerapkan prinsip hukum hak istimewa eksekutif yang melindungi kerahasiaan beberapa komunikasi internal Gedung Putih. Komite DPR mengatakan perlu catatan untuk memahami peran apapun yang mungkin dimainkan Trump dalam mengobarkan kekerasan yang terjadi pada 6 Januari 2021.
Setelah proses panjang yang berlalu, Panel DPR AS mengeluarkan rekomendasi dengan suara bulat terhadap mantan Presiden AS Donald Trump terkait kerusuhan yang terjadi di Capitol. Panel DPR AS mengusulkan agar Donald Trump dituntut pidana atas beberapa dugaan tindak pidana.
Seperti dilansir AFP dan CNN, Selasa (20/12/2022), Panel DPR AS lewat komite khusus melakukan penyelidikan terkait kerusuhan yang terjadi pada 2021 di US Capitol. Mereka pun menyampaikan rekomendasi final atas penyelidikan yang dilakukan Panel DPR AS selama ini.
Hasilnya, komite dengan suara bulat merekomendasikan agar Departemen Kehakiman menuduh Donald Trump atas berbagai dugaan tindak pidana. Beberapa di antaranya yakni menghasut pemberontakan hingga membuat pernyataan palsu.
"Komite merujuk Trump ke Departemen Kehakiman karena menghalangi proses resmi, menipu AS, membuat pernyataan palsu, dan memberikan bantuan atau kenyamanan untuk pemberontakan," kata panel seperti dilansir dari CNN.
Trump pun berang atas rekomendasi Panel DPR AS tersebut. Trump menuding anggota DPR AS telah merekomendasikan 'dakwaan-dakwaan palsu' terhadapnya. Dia juga menuduh bahwa tujuan utama dari penyelidikan oleh komisi DPR itu adalah untuk 'mencegah saya mencalonkan diri sebagai presiden karena mereka tahu saya akan menang'.
"Dakwaan-dakwaan palsu yang dibuat oleh Komisi Tidak Terpilih (menyindir nama komisi terpilih DPR-red) yang sangat partisan terkait 6 Januari telah diajukan, dituntut, dan diadili dalam bentuk Hoaks Pemakzulan #2," sebut Trump dalam pernyataan via platform Truth Social, media sosial miliknya.
"Saya MENANG dengan meyakinkan," imbuhnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.