Pemerintah Jepang bakal mengumumkan perombakan kebijakan pertahanan terbesar dalam beberapa tahun terakhir pada pekan ini. Perombakan besar-besaran itu akan mencakup peningkatan pengeluaran, membentuk kembali komando militer dan mendapatkan rudal-rudal baru untuk menangkal ancaman dari China.
Seperti dilansir AFP, Rabu (14/12/2022), perombakan kebijakan, yang akan diuraikan dalam tiga dokumen pertahanan dan keamanan paling cepat Jumat (16/12) pekan ini, akan membentuk kembali lanskap pertahanan di negara yang konstitusi pascaperangnya bahkan tidak secara resmi mengakui militer.
"Pada dasarnya memperkuat kemampuan pertahanan kita adalah tantangan paling mendesak dalam lingkungan keamanan yang parah ini," ujar Perdana Menteri (PM) Fumio Kishida dalam pernyataan pada akhir pekan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kita akan segera meningkatkan kemampuan pertahanan kita selama lima tahun ke depan," cetusnya.
Pergeseran ini menjadi dampak dari kekhawatiran Tokyo soal kekuatan militer dan sikap regional China yang berkembang, serta berbagai ancaman lainnya mulai dari peluncuran rudal Korea Utara (Korut) dan invasi Rusia ke Ukraina.
Kunci di antara kebijakan-kebijakan baru itu adalah janji meningkatkan pengeluaran hingga dua persen Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2027 nanti, dengan membawa Jepang sejajar dengan negara-negara anggota aliansi NATO lainnya.
Itu akan menandai peningkatan signifikan dari pengeluaran historis sekitar satu persen, dan memicu kritikan soal bagaimana pendanaannya. Uang itu akan membiayai proyek-proyek yang mencakup akuisisi terhadap apa yang disebut Jepang sebagai 'kemampuan serangan balik' -- kemampuan menyerang lokasi peluncuran serangan yang mengancam negara tersebut, bahkan sebagai pencegahan.
Jepang sebelumnya menghindari untuk memiliki kemampuan itu, dengan adanya perselisihan soal apakah itu akan melanggar konstitusi yang membatasi pertahanan diri.
Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.
Saksikan juga 'Pesawat Ruang Angkasa ispace Jepang Meluncur ke Bulan':
Menanggapi kritikan itu, dokumen-dokumen kebijakan dilaporkan akan tetap berkomitmen pada 'kebijakan keamanan berorientasi pertahanan diri' dan 'tidak akan menjadi kekuatan militer'.
Bagian dari kemampuan itu akan datang dari sekitar 500 rudal jelajah Tomahawk buatan Amerika Serikat (AS), yang dilaporkan tengah dipertimbangkan Jepang untuk dibeli sebagai penyokong selama negara itu mengembangkan rudal jarak jauh secara domestik.
Jepang juga akan mengumumkan rencana untuk mengembangkan jet tempur generasi selanjutnya dengan Italia dan Inggris, dan dilaporkan berencana membangun depot amunisi baru dan meluncurkan satelit untuk membantu mengarahkan potensi serangan balik.
Perubahan-perubahan yang mungkin terjadi juga akan berdampak pada organisasi militer. Laporan surat kabar lokal Nikkei menyebut tiga cabang Pasukan Pertahanan Diri (SDF) Jepang akan berada di bawah komando tunggal dalam kurun waktu lima tahun.
Kehadiran SDF di pulau-pulau paling selatan Jepang juga akan ditingkatkan, termasuk meningkatkan jumlah unit dengan kemampuan pencegatan rudal balistik hingga tiga kali lipat.
Dokumen soal perombakan kebijakan itu, yang juga membahas Strategi Keamanan Nasional, diperkirakan akan mengarah ke China untuk perubahan kebijakan.
Partai berkuasa di Jepang dilaporkan menginginkan agar Beijing disebut sebagai 'ancaman', namun di bawah tekanan mitra koalisi kemungkinan China hanya akan disebut sebagai 'kekhawatiran serius' dan 'tantangan strategis terbesar' bagi Jepang.
Kekhawatiran soal China semakin meningkat sejak latihan militer besar-besaran digelar di sekitar Taiwan pada Agustus lalu, ketika salah satu rudal Beijing jatuh di perairan zona ekonomi Jepang.