Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengakui adanya persaingan antara negaranya dan China. Namun, Biden mengatakan bahwa AS tidak mencari konflik dengan raksasa Asia itu.
Dilansir dari kantor berita AFP, Kamis (22/9/2022), Biden mengatakan bahwa AS bertekad untuk mempromosikan visinya tentang kebebasan dan kemakmuran global tetapi tidak mencari "konflik" dengan saingannya, China.
"Biarkan saya berterus terang tentang persaingan antara Amerika Serikat dan China," kata Biden dalam pidatonya di Majelis Umum PBB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat kami mengelola tren geopolitik yang berubah, Amerika Serikat akan bertindak sebagai pemimpin yang masuk akal. Kami tidak mencari konflik, kami tidak mencari Perang Dingin," imbuhnya.
Biden menambahkan, Washington tidak akan meminta negara-negara untuk "memilih" antara AS dan mitra-mitra lainnya meskipun "Amerika Serikat tidak akan malu dalam mempromosikan visi kami tentang dunia yang bebas, terbuka, aman, dan sejahtera."
Sebelumnya, pernyataan Biden terkait Taiwan telah membuat China geram. Biden menegaskan bahwa pasukan AS akan membela Taiwan jika China menginvasi pulau tersebut.
Dilansir dari kantor berita AFP, ketika ditanya dalam program "60 Minutes" di stasiun televisi CBS apakah pasukan AS akan membela Taiwan, Biden mengatakan "ya," jika itu adalah "serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya."
Washington memutuskan hubungan diplomatik formal dengan Taiwan pada 1979, mengalihkan pengakuan ke Beijing sebagai satu-satunya perwakilan China. Tetapi pada saat yang sama, Amerika Serikat mempertahankan perannya dalam mendukung Taiwan.
Simak video 'Kecaman Biden ke Putin di Sidang PBB: Rusia yang Cari Konflik!':
Di bawah undang-undang yang disahkan oleh Kongres, Amerika Serikat diharuskan menjual perlengkapan militer kepada Taiwan untuk memastikan pertahanan diri terhadap angkatan bersenjata Beijing yang jauh lebih besar.
Tetapi Washington telah mempertahankan apa yang secara resmi disebut "ambiguitas strategis" tentang apakah negara itu akan campur tangan secara militer.
Kebijakan ini dirancang untuk menangkal invasi China dan mencegah Taiwan memprovokasi Beijing dengan secara resmi mendeklarasikan kemerdekaan.