Pemimpin separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk, Ukraina bagian timur, menolak untuk meringankan hukuman dua warga negara Inggris yang divonis mati pekan lalu, usai ditangkap saat bertempur untuk Kiev. Ditegaskan tidak ada alasan untuk mengampuni kedua pria yang dinyatakan bersalah menjadi 'tentara bayaran' itu.
Seperti dilansir Reuters, Senin (13/6/2022), pengadilan di wilayah Republik Rakyat Donetsk yang menyatakan kemerdekaannya sendiri, pada Kamis (9/6) lalu, menyatakan Aiden Aslin dan Shaun Pinner -- keduanya warga Inggris -- bersalah atas 'aktivitas tentara bayaran' yang berupaya menggulingkan republik tersebut.
Keduanya diadili dan divonis bersama seorang warga Maroko Brahim Saadoun yang juga ditangkap saat bertempur di Ukraina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Otoritas Inggris menyebut Aslin dan Pinner merupakan tentara biasa dan seharusnya dikecualikan di bawah Konvensi Jenewa dari penuntutan karena berpartisipasi dalam konflik.
Pihak keluarga Aslin juga menyatakan bahwa Aslin dan Pinner 'bukan, dan tidak akan pernah, menjadi tentara bayaran'. Disebutkan juga bahwa keduanya tinggal di Ukraina ketika perang pecah.
"Sebagai anggota Angkatan Bersenjata Ukraina, mereka harus diperlakukan dengan hormat sama seperti tahanan perang lainnya," demikian pernyataan pihak keluarga.
Lihat video 'Detik-detik Rusia Hancurkan Gudang Logistik Persenjataan AS dan Barat di Ukraina':
Namun separatis pro-Rusia yang menguasai wilayah Donetsk menegaskan bahwa kedua warga Inggris itu telah melakukan kejahatan besar dan memiliki waktu sebulan untuk mengajukan banding.
"Saya tidak melihat alasan apapun, prasyarat apapun, bagi saya untuk mengeluarkan keputusan seperti itu untuk pengampunan," tegas pemimpin Republik Rakyat Donetsk, Denis Pushilin, seperti dikutip kantor-kantor berita Rusia.
Donetsk dan Luhansk merupakan dua wilayah separatis yang didukung Rusia di Donbas, Ukraina bagian timur. Rusia sebelumnya menyatakan tengah berjuang untuk menghilangkan kendali dan pengaruh rezim Kiev sepenuhnya di kedua wilayah itu.
Tiga hari sebelum memerintahkan invasi ke Ukraina pada 24 Februari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengakui kedua wilayah itu sebagai negara merdeka. Langkah itu menuai kecaman keras dari Ukraina dan sekutu-sekutunya di Barat yang menyebutnya ilegal.