Pemerintah Australia sepakat untuk membayar 'penyelesaian bersejarah' terhadap tiga wanita yang menuduh seorang mantan hakim top melakukan pelecehan seksual terhadap mereka. Namun, besaran uang ganti rugi itu dirahasiakan dari publik.
Seperti dilansir AFP, Selasa (15/2/2022), ketiga korban yang diidentifikasi sebagai Rachael Patterson Collins, Chelsea Tabart dan Alex Eggerking diketahui bekerja sebagai rekanan di Pengadilan Tinggi Australia. Ketiganya mengaku dilecehkan secara seksual oleh Dyson Heydon, saat dia masih menjadi hakim.
Departemen Jaksa Agung Australia mengonfirmasi kesepakatan penyelesaian itu, yang menyusul dilakukannya penyelidikan internal oleh Pengadilan Tinggi yang memperkuat klaim para korban terhadap Heydon, dan tiga wanita lainnya yang juga bekerja di pengadilan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para pengacara dari firma hukum Maurice Blackburn menyebut kesepakatan penyelesaian itu 'bersejarah', karena diyakini sebagai yang pertama melibatkan tuduhan pelecehan seksual terhadap seorang hakim federal yang hakim yang masih aktif.
Heydon telah menyangkal 'setiap tuduhan perilaku predator atau pelanggaran hukum' yang ditujukan untuknya.
Pada Juni 2020, Pengadilan Tinggi Australia meminta maaf kepada enam wanita yang menjadi korban dalam kasus itu. "Kami malu bahwa ini bisa terjadi di Pengadilan Tinggi Australia," ucap kepala pengadilan tinggi saat ini, hakim Susan Kiefel, dalam pernyataannya.
Ketiga wanita yang menjadi korban melakukan perundingan dengan pemerintah federal setelah permintaan maaf itu disampaikan.
Jumlah uang penyelesaian yang akan dibayarkan pemerintah Australia terhadap ketiga wanita itu akan tetap dirahasiakan, karena adanya perjanjian non-disclosure yang disertakan dalam kesepakatan penyelesaian. Namun diketahui bahwa kompensasi akan diambil dari uang negara.
Jaksa Agung Michaela Cash dalam pernyataannya menegaskan pemerintah 'menanggapi klaim-klaim itu dengan sangat serius'. "Penyelesaian yang kita capai konsisten dengan itu," sebutnya, sembari memuji keberanian ketiga wanita yang menjadi korban untuk angkat bicara.