Paris -
Mantan pengawal Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena menyerang dua demonstran saat unjuk rasa antikapitalis tahun 2018. Insiden itu memberikan rasa malu yang mendalam bagi Macron.
Seperti dilansir AFP, Sabtu (6/11/2021), Alexandre Benalla juga dinyatakan bersalah atas dakwaan memalsukan dokumen dan membawa senjata api secara ilegal.
Namun Benalla tidak akan mendekam di penjara setelah pengadilan menangguhkan masa hukumannya selama dua tahun -- dari tiga tahun penjara -- dan memerintahkannya memakai gelang elektronik selama satu tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Macron langsung memecat Benalla setelah kemunculan video yang menunjukkan Benalla menyerang seorang pemuda dan menarik seorang gadis di lehernya dalam unjuk rasa Hari Buruh di Paris tahun 2018 lalu.
Benalla yang kini berusia 30 tahun, mengenakan helm polisi saat insiden penyerangan terjadi, meskipun dia saat itu hanya diberi izin menghadiri unjuk rasa sebagai pemantau.
Skandal yang disebut 'Benallagate' mencuat sebagai ujian besar pertama bagi kepresidenan Macron, yang dituduh menutup-nutupi karena tidak melaporkan Benalla ke polisi hingga surat kabar terkemuka Prancis, Le Monde, mengungkapkan keberadaan rekaman video insiden itu dua bulan usai kejadian.
Benalla menyangkal seluruh dakwaan yang dijeratkan terhadapnya dan berdalih dirinya bertindak 'secara refleks' untuk membantu polisi menangkap demonstran yang rusuh.
Benalla diketahui bekerja sebagai pengawal untuk Macron sejak tahun 2016 dan dipromosikan ke peran keamanan senior setelah Macron menang pemilu Prancis pada Mei 2017. Dia kemudian menjadi orang kepercayaan dan tangan kanan yang terlihat mendampingi Macron dalam berbagai kesempatan.
Setelah skandal mencuat, Benalla juga mengakui dirinya membawa senjata api saat mendampingi Macron, meskipun dia hanya mendapat izin untuk membawa senjata api dalam lingkungan kantor partai yang menaungi Macron.
Para penyidik Prancis juga mendapati bahwa Benalla menggunakan paspor diplomatik miliknya saat berkunjung ke Afrika dan Israel untuk menjalin bisnis. Dia juga dinyatakan bersalah menggunakan dokumen palsu untuk mendapatkan paspor.
Dalam putusannya, hakim Isabelle Prevost-Desprez, menyatakan Benalla tampak meyakini dirinya bisa melakukan apapun dengan 'kekebalan hukum' dan 'merasa sangat berkuasa' saat dan setelah bekerja untuk Macron.
"Anda diberi kekuatan tertentu, yang berkaitan dengan pekerjaan Anda, dan berasumsi karena Anda dekat dengan Presiden. Anda mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepada Anda melalui penunjukan ini," sebut hakim Prevost- Desprez.
Pemerintah Macron lolos dari dua mosi tidak percaya di parlemen Prancis menyusul skandal Benalla ini. Namun panel investigatif Senat Prancis yang menanyai para penasihat dan ajudan utama Macron menemukan 'kelemahan besar' dalam penanganan masalah itu oleh pemerintahan Macron.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini