Kemenangan Presiden Iran yang baru, Ebrahim Raisi memicu sindiran dari Israel. Negara yang baru saja memilih Perdana Menteri baru tersebut menyerang Iran dengan tuduhan memicu keprihatian serius komunitas internasional.
Untuk diketahui bersama, sosok Raisi dikenal sebagai pribadi yang sangat berkomitmen pada perkembangan program nuklir Iran. Terlebih saat ini, Iran sedang dihadapkan dengan upaya kembali ke kesepakatan nuklir 2015 dengan sejumlah kekuatan dunia.
Israel memang jadi salah satu negara yang paling keras menentang nuklir Iran. Menurut negara pimpinan Naftali Bennett itu, Iran bisa kapan saja mengembangkan senjata nuklir jika kesepakatan kembali dicapai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Israel: Iran Punya Niat Jahat
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Lior Haiat menuduh Raisi memiliki niat jahat. Ia pun menyerukan agar komunitas internasional menaruh perhatian khusus atas pengembangan nuklir Iran.
"Terpilihnya Raisi menggambarkan niat jahat Iran yang sebenarnya, dan seharusnya memicu keprihatinan serius di antara komunitas internasional", tulis Lior Haiat di Twitter seperti dilansir dari AFP, Minggu (20/6/2021).
"Iran telah memilih presidennya yang paling ekstremis hingga saat ini", lanjut Lior Haiat usai pemungutan suara berlangsung di Iran Jumat (18/6) lalu.
Tak hanya dari juru bicara Kemenlu Israel, serangan juga disampaikan Bennett yang baru saja dilantik. Menurutnya, upaya untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu merupakan "kesalahan yang akan memberikan legitimasi kepada salah satu rezim paling gelap".
Kemenangan Raisi Diwarnai Aksi Boikot
Kemenangan Raisi diwarnai dengan aksi boikot dalam pemilihan presiden hingga memicu banyak pemilih kecewa. Ketua Komisi Pemilu dan Wakil Menteri Dalam Negeri, Yamal Orf, melaporkan bahwa RaisΓ memperoleh 17.800.000 suara dari total 28.600.000 surat suara yang dihitung sejauh ini, yaitu 62% suara.
Dari 28,6 juta suara ini, meskipun bukan total akhir, menunjukkan jumlah pemilih yang lebih rendah dari putaran sebelumnya, karena ada lebih dari 59 juta orang Iran yang mendapat hak untuk memilih.
Diketahui bahwa Dewan Wali, sebuah badan pemeriksa konstitusional yang beranggotakan 12 orang di bawah Khamenei, melarang ratusan kandidat termasuk kalangan reformis dan mereka yang sealiran dengan Hassan Rouhani untuk mencalonkan diri dalam pilpres ini. Akibatnya, sebagian besar warga tidak ikut memilih karena dari sekitar 600 bakal calon, di antaranya ada 40 perempuan telah dieliminasi.
Sementara itu, pemimpin Iran sebelumnya, Rouhani memang tidak dapat mencalonkan diri lagi setelah menjalani dua periode masa jabatan empat tahun berturut-turut.
Usai banyaknya kontroversi, akhirnya hanya ada tujuh kandidat yang diseleksi, dan semuanya adalah laki-laki. Tiga kandidat mundur dua hari sebelum pemilu hari Jumat (18/6) lalu, dan langsung memberi dukungannya kepada Raisi.
Para pemilih yang mencoblos Raisi mengatakan mereka mendukung karena ia telah berjanji untuk memerangi korupsi, dan akan membangun jutaan rumah susun untuk keluarga berpenghasilan rendah.
Pemerintahan baru Iran nantinya harus menghadapi krisis ekonomi yang diperburuk oleh pandemi virus Corona (COVID-19), menyerukan reformasi konstitusional dan menjawab pertanyaan yang bermunculan soal rencana suksesi Khamenei. Iran juga tengah terlibat perundingan dengan Amerika Serikat (AS) untuk membangkitkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015.