WSJ dalam laporannya juga menyebut bahwa sejumlah pejabat dan mantan pejabat AS mengetahui informasi intelijen itu telah memberikan berbagai pandangan bervariasi soal kekuatan bukti pendukung laporan itu, dengan salah satunya menyatakan dibutuhkan 'penyelidikan lebih lanjut dan pembuktian tambahan'.
AS bersama Norwegia, Kanada, Inggris dan beberapa negara lainnya, pada Maret lalu, menyampaikan kekhawatiran soal kajian asal-usul Corona yang dipimpin WHO dan menyerukan penyelidikan lebih lanjut serta akses penuh untuk seluruh data -- baik hewan maupun manusia -- soal tahap-tahap awal pandemi Corona.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedutaan Besar (Kedubes) China di Washington DC belum memberikan komentarnya atas laporan ini.
Pada Minggu (23/5) waktu setempat, Kementerian Luar Negeri China menekankan bahwa tim pimpinan WHO telah menyimpulkan bahwa kebocoran laboratorium sangat tidak mungkin terjadi setelah para pakar internasional mengunjungi Institut Virologi Wuhan (WIV) pada Februari lalu.
"AS terus menggembor-gemborkan teori kebocoran lab. Apakah mereka sungguh-sungguh peduli soal pelacakan sumber atau berupaya mengalihkan perhatian?" demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri China dalam kepada WSJ.
Disebutkan bahwa dokumen Departemen Luar Negeri AS yang dirilis menjelang berakhirnya pemerintahan Presiden Donald Trump menyatakan: "Pemerintah AS memiliki alasan untuk mempercayai bahwa sejumlah peneliti di WIV jatuh sakit pada musim gugur tahun 2019, sebelum kasus pertama diidentifikasi, dengan gejala-gejala yang konsisten dengan COVID-19 maupun penyakit musiman biasa."
Namun, dokumen itu tidak menyebut jumlah peneliti yang sakit.
(nvc/ita)