Sementara itu, pada Rabu (31/3) waktu setempat, pemerintah junta militer Myanmar mengumumkan penerapan gencatan senjata selama sebulan, yang diputuskan secara sepihak. Namun gencatan senjata ini tidak berlaku untuk aksi yang dianggap mengganggu keamanan dan operasional pemerintah, yang jelas merujuk pada unjuk rasa antikudeta yang digelar setiap hari.
Pengumuman dilakukan usai terjadi pertempuran sengit antara junta dengan sedikitnya dua kelompok gerilya etnis minoritas yang memiliki posisi kuat di daerah masing-masing di sepanjang perbatasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih dari selusin kelompok etnis menuntut otonomi yang lebih besar dari pemerintah pusat Myanmar selama bertahun-tahun, terkadang melalui pertempuran bersenjata. Bahkan saat masa-masa damai, hubungan kelompok etnis bersenjata dengan militer menjadi tegang dan gencatan senjata pun rapuh.
Gerakan pembangkangan yang melawan kudeta militer pada 1 Februari lalu yang telah melengserkan pemimpin de-facto Aung San Suu Kyi, diketahui mencari aliansi dengan kelompok etnis bersenjata untuk meningkatkan tekanan pada pemerintah junta militer Myanmar.
Menyusul pengumuman gencatan senjata, belum ada satupun kelompok etnis bersenjata yang memberikan tanggapannya. Sejumlah kelompok besar, termasuk Kachin di Myanmar bagian utara, Karen di bagian timur dan Tentara Arakan Rakhine di bagian barat, telah menyampaikan kecaman secara terbuka terhadap kudeta. Mereka bahkan terang-terangan menyatakan akan membela para demonstran antikudeta di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
(izt/gbr)