Pemerintah junta militer Myanmar mengumumkan penerapan gencatan senjata selama sebulan, yang diputuskan secara sepihak. Namun, gencatan senjata ini tidak berlaku untuk aksi yang dianggap mengganggu keamanan dan operasional pemerintah, yang jelas merujuk pada unjuk rasa antikudeta yang digelar setiap hari.
Seperti dilansir Associated Press, Kamis (1/4/2021), pengumuman gencatan senjata ini disampaikan junta militer Myanmar pada Rabu (31/3) waktu setempat, setelah terjadi pertempuran sengit dengan sedikitnya dua kelompok gerilya etnis minoritas yang memiliki posisi kuat di daerah masing-masing di sepanjang perbatasan.
Lebih dari selusin kelompok etnis menuntut otonomi yang lebih besar dari pemerintah pusat Myanmar selama bertahun-tahun, terkadang melalui pertempuran bersenjata. Bahkan saat masa-masa damai, hubungan kelompok etnis bersenjata dengan militer menjadi tegang dan gencatan senjata pun rapuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gerakan pembangkangan yang melawan kudeta militer pada 1 Februari lalu yang telah melengserkan pemimpin de-facto Aung San Suu Kyi, diketahui mencari aliansi dengan kelompok etnis bersenjata untuk meningkatkan tekanan pada pemerintah junta militer Myanmar.
Aliansi ini diharapkan bisa membentuk apa yang disebut sebagai 'tentara federal' yang akan menjadi penyeimbang dari militer Myanmar.
Berbagai aksi protes yang digelar demonstran antikudeta menghadapi penindakan tegas sarat kekerasan dari polisi dan tentara yang dilengkapi senjata perang, yang bebas mereka gunakan pada demonstran. Laporan terbaru kelompok advokat, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar (AAPP) menyebut sedikitnya 536 orang, baik demonstran maupun warga yang tidak ikut unjuk rasa, tewas dalam berbagai insiden sejak kudeta.
Menyusul pengumuman gencatan senjata, belum ada satupun kelompok etnis bersenjata yang memberikan tanggapannya. Sejumlah kelompok besar, termasuk Kachin di Myanmar bagian utara, Karen di bagian timur dan Tentara Arakan Rakhine di bagian barat, telah menyampaikan kecaman secara terbuka terhadap kudeta. Mereka bahkan terang-terangan menyatakan akan membela para demonstran antikudeta di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Simak juga Video: Diserang Jet Militer, Warga Myanmar Kabur ke Thailand
Tentara Kemerdekaan Kachin -- sayap militer Organisasi Kemerdekaan Kachin -- menyerang sebuah kantor polisi di kota Shwegu pada Rabu (31/3) dini hari. Para penyerang, menurut laporan media lokal 74 Media dan Bhamo Platform, merampas persenjataan dan pasokan di kantor polisi itu, serta melukai seorang polisi.
Kachin telah melancarkan rentetan serangan terhadap militer Myanmar sejak kudeta. Pertempuran terbaru dipicu oleh serangan pemerintah di empat pos Kachin. Usai salah satu serangan Kachin pada pertengahan Maret, militer Myanmar membalas dengan menggempur markas Kachin dengan helikopter militer.
Selain Kachin, kelompok gerilya Karen juga menyerang dan menduduki sebuah pos militer Myanmar pada Sabtu (27/3) lalu. Militer Myanmar membalasnya dengan serangan udara, yang menurut Free Burma Rangers, menewaskan 13 warga desa setempat dan memaksa ribuan orang kabur ke perbatasan Thailand.
Gempuran militer Myanmar itu memicu krisis di Thailand, dengan sekitar 3.000 warga etnis Karen mencari perlindungan ke negara tetangga Myanmar itu. Perdana Menteri (PM) Thailand, Prayuth Chan-O-Cha, menyatakan banyak dari mereka yang segera kembali ke wilayah Myanmar usai menyeberang perbatasan. Disebutkan bahwa sejauh ini hanya tinggal 200 warga etnis Karen yang ada di wilayah Thailand.
Sementara itu, unjuk rasa antikudeta terus berlanjut di berbagai kota Myanmar. Demonstran di salah satu wilayah Yangon melakukan long-march. Demonstran yang kebanyakan kalangan muda ini berhenti sebentar di pinggiran Hlaing untuk menghormati seorang demonstran yang tewas dalam bentrokan.
(ita/ita)