Seorang remaja perempuan yang merekam video mengejutkan yang menunjukkan momen George Floyd meregang nyawa dihadirkan dalam sidang di Minneapolis, Amerika Serikat (AS). Remaja ini memberi testimoni emosional soal momen terakhir Floyd dan melontarkan keterangan memberatkan terdakwa utama, Derek Chauvin.
Seperti dilansir The Guardian, Rabu (31/3/2021), Darnella Frazier yang berusia 17 tahun saat insiden itu terjadi pada Mei tahun lalu, menuturkan dirinya masih merasa bersalah karena merasa tidak berdaya untuk menyelamatkan nyawa Floyd (46). Dia mengaku susah tidur akibat insiden yang disaksikan langsung olehnya itu.
Frazier yang kini berusia 18 tahun bahkan beberapa kali menangis saat memberikan keterangan dalam persidangan pada Selasa (30/3) waktu setempat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya terus meminta maaf dan meminta maaf kepada George Floyd karena tidak berbuat lebih banyak hal," ucap Frazier.
Namun Frazier menambahkan bahwa ini bukan tentang apa yang seharusnya dia lakukan. "Ini soal apa yang seharusnya dia lakukan," ucapnya merujuk pada Chauvin, mantan polisi Minneapolis yang menindih leher Floyd dengan lututnya selama lebih dari 9 menit hingga menewaskan Floyd.
Chauvin (45) dijerat dakwaan berlapis dalam kasus ini, mulai dari dakwaan pembunuhan tingkat kedua dan tingkat ketiga, serta dakwaan pembunuhan tak disengaja (manslaughter). Dakwaan terberat, yakni pembunuhan tingkat kedua, memiliki ancaman hukuman 40 tahun penjara. Chauvin menyangkal seluruh dakwaan tersebut.
Jaksa menayangkan rekaman video yang diambil Frazier saat menyampaikan argumen pembuka pada Senin (29/3) waktu setempat. Salah satu jaksa penuntut dalam kasus ini, Jerry Blackwell, menyebut video itu menjadi bukti kuat bahwa Chauvin bersalah.
"Anda bisa mempercayai mata Anda, bahwa itu pembunuhan," tegas Blackwell.
Simak juga 'Sambil Menangis, Saksi Mata Kecewa Tak Bisa Bantu George Floyd':
Dalam sidang, Frazier menuturkan bahwa dirinya merekam insiden itu karena Floyd saat itu tampak 'ketakutan, memohon untuk nyawanya'. Frazier mengaku sangat ngeri dengan situasi saat itu sehingga menyuruh adik sepupunya pergi ke toko makanan agar tidak menyaksikan langsung insiden itu.
Jaksa menghadirkan Frazier untuk menegaskan argumen mereka bahwa Chauvin secara jahat terus menekankan lututnya ke leher Floyd, bahkan ketika Floyd sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Dituturkan Frazier dalam sidang bahwa meskipun ada permohonan dari kerumunan orang di lokasi, Chauvin tidak mengurangi tenaganya dan tetap menindih leher Floyd dengan lututnya.
"Dia memiliki tatapan seperti tampang dingin. Seperti dia tidak peduli," ucap Frazier.
Pada satu momen, sebut Frazier, Chauvin bahkan bereaksi terhadap seruan dari kerumunan dengan semakin menambah tekanan pada leher dan punggung Floyd. "Bahkan, dia berlutut lebih keras, seperti dia mendorong lutut ke lehernya (Floyd-red)," ucapnya.
Keterangan saksi mata pada sidang hari kedua ini bertujuan untuk membuktikan argumen bahwa polisi yang ada di lokasi tidak melakukan apapun untuk membantu Floyd saat dia semakin tertekan dan sulit bernapas.
Dalam argumennya, jaksa Blackwell menyatakan bahwa Chauvin menindihkan lututnya di leher Floyd selama 9 menit 29 detik. Selama itu, sebut jaksa Blackwell, Chauvin tidak mengurangi kekuatannya bahkan setelah Floyd yang diborgol, mengatakan sebanyak 27 kali bahwa dia tidak bisa bernapas dan menjadi lemas.
Seorang paramedis darurat dari dinas pemadam kebakaran Minneapolis, Genevieve Hansen, juga dihadirkan dalam sidang. Dalam keterangannya, Hansen menyebut polisi sama sekali tidak mengizinkan dirinya memberikan pertolongan medis kepada Floyd saat itu.
Hansen menuturkan dirinya telah menjelaskan identitasnya sebagai petugas pemadam kebakaran dengan pelatihan medis kepada salah satu polisi di lokasi, namun justru diminta untuk tidak terlibat. Dia mengaku merasa tak berdaya karena ada seorang pria yang sekarat di depannya dan dia tidak diberi kesempatan untuk menolongnya.