"Seorang militer profesional mengikuti standar perilaku internasional dan bertanggung jawab untuk melindungi - bukan merugikan - orang-orang yang dilayaninya," kata pernyataan bersama itu.
"Kami mendesak Angkatan Bersenjata Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan bekerja untuk memulihkan rasa hormat dan kredibilitas dengan rakyat Myanmar yang telah hilang melalui tindakannya," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut kelompok pemantau lokal, jumlah korban tewas akibat tindakan keras sejak kudeta sejauh ini telah meningkat menjadi sedikitnya 423 orang.
Pada hari Minggu (28/3), sejumlah pemakaman para korban diadakan. Terlepas dari bahaya yang mengintai, para pengunjuk rasa kembali turun ke jalan di beberapa wilayah di Yangon termasuk Hlaing, dan kota Dawei, Bago, Myingyan dan Monywa.
Media yang dikelola pemerintah mengkonfirmasi dua pria dan dua wanita tewas di Monywa. Di Myingyan - satu wanita tewas dan dua lainnya luka-luka. Sementara di Hlaing, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun kehilangan tangan akibat ledakan ketika mencoba melempar granat yang dilemparkan pasukan keamanan ke pengunjuk rasa.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebutkan jumlah korban tewas pada hari Sabtu menjadi 107 orang - termasuk tujuh anak - tetapi diperkirakan akan terus bertambah.
"Tindakan memalukan, pengecut, dan brutal dari militer dan polisi - yang menembaki pengunjuk rasa saat mereka melarikan diri, dan yang bahkan tidak menyelamatkan anak-anak kecil - harus segera dihentikan," kata utusan PBB, Alice Wairimu Nderitu dan Michelle Bachelet dalam pernyataan bersama.
Henrietta Fore, Direktur Eksekutif UNICEF, mengatakan 10 anak dilaporkan telah ditembak dan dibunuh pada hari Sabtu (27/3).
"Selain dampak langsung dari kekerasan, konsekuensi jangka panjang dari krisis bagi anak-anak Myanmar bisa menjadi bencana besar," kata Fore dalam sebuah pernyataan.
(izt/ita)