Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada 2 pejabat senior China. Sanksi tersebut dijatuhkan atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius terhadap warga Uighur di wilayah Xinjiang, China.
"Otoritas China akan terus menghadapi konsekuensi salam kekejaman terjadi di Xinjiang," kata pejabat Departemen Keuangan AS yang mengawasi program sanksi, Andrea Gacki seperti dilansir AFP, Selasa (23/3/2021).
Sanksi tersebut ditujukan kepada Sekretaris Komite Partai Komunis China dari Korp Produksi dan Konstruksi Xinjiang (XPCC), Wang Junzheng dan Direktur Biro Keamanan Umum Xinjiang, Chen Mingguo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanksi tersebut berupaya pemblokiran kepada keduanya untuk melakukan bisnis dengan orang Amerika dan mengakses sistem keuangan global, serta membekukan aset apa pun yang mungkin mereka miliki di bawah yurisdiksi AS.
Tindakan Departemen Keuangan AS itu sudah berkoordinasi dengan Uni Eropa, Inggris, Kanada dan AS untuk meningkatkan tekanan pada Beijing karena menempatkan lebih dari satu juta warga Xinjiang, sebagian besar Muslim Uighur di kamp-kamp penjara dan banyak yang ditempatkan pada program kerja paksa.
Inggris, Kanada dan Uni Eropa juga menjadi sasaran sanksi Wakil Presiden China Wang Mingshan dan seorang pejabat Partai Komunis China, Zhu Hailun di balik kamp "pendidikan ulang".
Menteri Luar Negeri Kanada, Marc Garneau mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sanksi tersebut menggarisbawahi "keprihatinan besar dengan pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung," di Xinjiang.
Simak video 'China-Uni Eropa Saling Balas Sanksi Terkait Pelanggaran HAM Uighur':
Dia mengutip "semakin banyak bukti" yang menunjuk pada "pelanggaran hak asasi manusia yang sistemik dan dipimpin negara oleh otoritas China," termasuk penahanan massal etnis minoritas, serta "pendidikan ulang politik, kerja paksa, penyiksaan dan sterilisasi paksa,".
Departemen Keuangan AS mengatakan bahwa Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang adalah kelompok paramiliter yang memajukan kontrol ketat Beijing di Xinjiang, secara paralel dengan Biro Keamanan Umum.
"Pemerintah China memperlakukan hampir semua ekspresi keyakinan sebagai tanda 'ekstremisme' agama atau separatisme etnis," kata Departemen Keuangan.
Target operasi Beijing di Xinjiang "sering ditahan dan dilaporkan mengalami berbagai metode penyiksaan dan 'pendidikan ulang politik'," katanya.