Pemimpin junta militer Myanmar menyerukan upaya untuk menghidupkan kembali perekonomian negara. Seruan ini disampaikan ketika negara-negara Barat sedang mempertimbangkan lebih banyak sanksi untuk menekan para jenderal agar menghentikan tindakan keras terhadap demonstran antikudeta.
Seperti dilansir Reuters, Rabu (24/2/2/2021) seruan militer untuk fokus pada ekonomi datang setelah mogok massal dan penutupan sejumlah bisnis terjadi. Meski ada peringatan dari pihak berwenang bahwa konfrontasi dapat membuat demonstran terbunuh, demonstran tetap tak mundur.
Panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing, dalam pertemuan dengan dewan militer pada Senin (22/2), menyerukan agar pengeluaran negara dan kebijakan impor dipotong. Sebaliknya ekspor perlu ditingkatkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dewan perlu mengerahkan energinya untuk menghidupkan kembali ekonomi negara. Langkah-langkah pemulihan ekonomi harus diambil," kata Jenderal Min Aung Hlaing seperti dikutip media pemerintah.
Sejak 1 Februari lalu, militer merebut kekuasaan setelah mengklaim terjadinya kecurangan pemilu November 2020. Kudeta dilakukan dengan menahan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan sebagian besar pimpinan partainya. Komisi pemilihan umum telah membantah tuduhan kecurangan itu.
Kondisi pandemi turut mempengaruhi perekonomian Myanmar. Para investor gelisah karena pandemi Corona bisa merusak konsumsi dan pariwisata.
Min Aung Hlaing tidak mengaitkan protes secara langsung dengan masalah ekonomi. Meski begitu, ia menyebut pihak berwenang mengikuti jalur demokrasi untuk menangani demonstrasi. Polisi disebutnya hanya menggunakan kekuatan minimal, seperti peluru karet.
Akibat tindakan petugas polisi, tiga pengunjuk rasa telah tewas - dua ditembak mati di kota kedua Mandalay pada hari Sabtu (20/2), dan seorang wanita yang meninggal pada hari Jumat (19/2) setelah ditembak lebih dari seminggu sebelumnya di ibu kota, Naypyidaw.
Militer mengatakan seorang polisi tewas karena luka-luka yang dialaminya selama aksi protes.
Lihat juga Video: Dikritik, Malaysia Tetap Deportasi 1.000 WN Myanmar
Militer menuduh para pengunjuk rasa memprovokasi kekerasan. Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Tom Andrews mengatakan jutaan orang yang berunjuk rasa menunjukkan bahwa mereka siap menghadapi ancaman militer.
"Para jenderal kehilangan kekuatan mereka untuk mengintimidasi. Sudah lewat waktu bagi mereka untuk mundur, karena rakyat Myanmar akan terus bersiap menghadapinya," kata Andrews di Twitter.
Uni Eropa mengatakan sedang mempertimbangkan sanksi yang akan menargetkan bisnis yang dimiliki oleh tentara, tetapi blok itu mengesampingkan pembatasan preferensi perdagangannya agar tak mempengaruhi para pekerja.
Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi kepada dua anggota militer lainnya dan memperingatkan mereka dapat mengambil tindakan lebih lanjut. Sebelumnya, Pemerintahan Presiden Joe Biden sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada Plt presiden Myanmar dan beberapa perwira militer, serta tiga perusahaan di sektor batu giok dan permata.
Myanmar, yang di masa lalu tidak terpengaruh oleh sanksi-sanksi, mengecam sikap negara-negara lain dan menyebutnya 'ikut campur' dalam urusan dalam negeri.