Setelah mantan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump lolos dari pemakzulan, kini dirinya harus menghadapi gugatan hukum terkait kerusuhan di Gedung Capitol 6 Januari lalu. Dalam gugatan itu, Trump bersama pengacara pribadinya dan dua kelompok sayap kanan dituduh berkonspirasi untuk menghasut penyerbuan dan kerusuhan itu.
Gugatan hukum itu diajukan seorang anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Bernie Thompson, pada Selasa (16/2) waktu setempat. Gugatan itu menuduh Trump melanggar Undang-undang (UU) Ku Klux Klan dari abad ke-19 dengan mendukung penyerbuan Gedung Capitol, demikian dilansir AFP dan Reuters, Rabu (17/2/2021).
Trump bersama pengacaranya Rudy Giuliani dan dua kelompok ekstremis sayap kanan, Proud Boys dan Oath Keepers, dituduh telah melanggar UU tahun 1871 dengan mendukung upaya-upaya untuk menghentikan Kongres AS mengesahkan kemenangan Presiden Joe Biden dalam pilpres.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Thompson yang merupakan politikus kulit hitam dan memimpin Komisi Keamanan Dalam Negeri DPR AS ini mengutip UU yang awalnya dibentuk untuk melindungi hak-hak warga Afrika-Amerika setelah perang sipil dan diakhirinya perbudakan.
UU tahun 1871 yang digunakan Thompson dalam gugatannya dirancang untuk memberikan Presiden AS wewenang untuk menentang kelompok rasis yang sarat kekerasan seperti Ku Klux Klan yang marak saat Perang Sipil 1861-1865 silam, yang menentang kesetaraan hak untuk warga kulit hitam di AS.
Satu klausul yang jarang digunakan dari UU itu melarang konspirasi untuk menghalangi pejabat federal melakukan tugasnya.
Gugatan hukum ini diajukan ke pengadilan federal di Washington DC sekitar tiga hari setelah Trump dibebaskan dari dakwaan pemakzulan, yakni menghasut pemberontakan, dalam sidang di Senat AS.
Thompson menuduh Trump, Giuliani dan dua kelompok ekstremis itu berkonspirasi 'dengan kekerasan, intimidasi dan ancaman' untuk mencegah dirinya menjalankan tugas resminya untuk melakukan pengesahan kemenangan Biden dalam pilpres.