Perdana Menteri (PM) Thailand, Prayuth Chan-O-Cha, memerintahkan agar semua undang-undang (UU) digunakan untuk menindak para demonstran yang melanggar hukum. Perintah ini dirilis saat aksi protes semakin meluas di negara itu yang menuntut pengunduran diri Prayuth dan reformasi Kerajaan Thailand.
Seperti dilansir Reuters, Kamis (19/11/2020), para aktivis menyuarakan kekhawatiran karena hal tersebut bisa berarti dimulainya kembali penuntutan di bawah beberapa undang-undang penghinaan kerajaan yang paling keras di dunia.
Aksi protes yang terus berlanjut menjadi tantangan terbesar bagi pemerintahan Thailand dalam bertahun-tahun dan telah melanggar pandangan tabu sejak lama dengan mengkritik Kerajaan Thailand -- tindakan yang bisa terancam hukuman maksimum 15 tahun penjara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan terbaru Prayuth itu disampaikan sehari setelah ribuan demonstran melemparkan cat ke markas utama Kepolisian Thailand di Bangkok. Aksi itu disebut sebagai respons atas penggunaan water cannon dan gas air mata oleh polisi, yang melukai puluhan demonstran Thailand pada Selasa (17/11) lalu -- tercatat sebagai hari unjuk rasa terkelam sejak Juli lalu.
Sejumlah demonstran juga mencoret-coret pagar markas polisi dengan grafiti bernada anti-Kerajaan Thailand.
"Situasinya tidak membaik," ucap Prayuth dalam pernyataan terbarunya. "Ada risiko eskalasi lebih banyak tindak kekerasan. Jika tidak segera diatasi, maka bisa merusak negara ini dan kerajaan tercinta," tegasnya.
"Pemerintah akan meningkatkan tindakannya dan menggunakan semua undang-undang, semua pasal, untuk mengambil tindakan terhadap para demonstran yang melanggar hukum," cetus Prayuth.
Tidak disebutkan lebih apakah ini termasuk menggunakan pasal 112 Undang-undang Pidana, yang melarang penghinaan terhadap Kerajaan Thailand. Prayuth pada awal tahun ini menyatakan bahwa pasal itu tidak digunakan untuk saat ini atas permintaan Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn.
"Ini bisa berarti mereka menggunakan pasal 112 untuk menangkap pemimpin demonstran. Apakah ini kompromi?" tanya salah satu aktivis Thailand, Tanawat Wongchai, lewat akun Twitter-nya.
Meskipun Istana Kerajaan Thailand tidak mengomentari unjuk rasa, Raja Vajiralongkorn baru-baru ini menyebut Thailand sebagai 'tanah kompromi' -- istilah yang dicemooh oleh para demonstran.
Para loyalis Kerajaan Thailand yang marah dengan coretan anti-kerajaan, menyerukan via media sosial agar pasal 112 kembali diberlakukan.