Respons Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam penanganan Corona (COVID-19) beberapa kali berubah. Hal ini tampak dalam sikap WHO soal lockdown, penggunaan masker hingga definisi kematian terkait COVID-19.
Sebagaimana diketahui, virus Corona mulai merebak pada Desember 2019, Wuhan, China. Virus ini lalu menyebar ke berbagai belahan dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Maju Mundur Cantik WHO Soal Lockdown Corona |
WHO kemudian mengeluarkan respons dan saran yang kemudian diperbarui kembali.
Berikut ini rangkaian perubahan sikap WHO dalam penanganan Corona yang dirangkum detikcom, Senin (12/10/2020):
Penutupan Perbatasan Tak Efektif Cegah Corona
Awalnya, pada bulan Februari WHO mengingatkan bahwa penutupan perbatasan negara tidaklah efektif dalam menghentikan penyebaran wabah virus corona dari China. Padahal saat itu Corona telah ditetapkan sebagai darurat kesehatan global.
"Jika Anda menutup perlintasan perbatasan resmi, Anda bisa kehilangan jejak orang-orang dan tak bisa memonitor (pergerakan mereka) lagi," kata juru bicara WHO, Christian Lindmeier kepada para wartawan di Jenewa, Swiss seperti dilansir kantor berita AFP, Sabtu (1/2/2020).
Namun beberapa negara tetap menutup negaranya. Saat sejumlah negara telah berhasil menekan tingkat infeksi COVID-19 lewat kebijakan lockdown, WHO menyampaikan pujiannya. Tetapi WHO juga meminta agar negara-negara menunjukkan "kewaspadaan ekstrem" ketika mulai melonggarkan aturan pembatasan dan kuncian (lockdown).
"Kabar baiknya adalah bahwa ada banyak keberhasilan dalam memperlambat virus dan pada akhirnya menyelamatkan nyawa," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus lewat briefing virtual pada 11 Mei 2020.
"Hal terakhir yang dibutuhkan negara mana pun adalah membuka sekolah dan bisnis, hanya untuk dipaksa menutupnya lagi karena kebangkitan virus," lanjutnya.
Namun, kini sikap WHO kembali berubah. Dilansir dari Nypost, Senin (12/10/2020) Utusan Khusus (Special Envoy) WHO Dr David Nabarro mengatakan bahwa tindakan pembatasan seperti itu hanya boleh diperlakukan sebagai upaya terakhir.
"Kami di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak menganjurkan penguncian (lockdown) sebagai cara utama pengendalian virus ini," kata Nabarro dalam wawancaranya dengan majalah Inggris The Spectator.
"Lockdown hanya memiliki satu konsekuensi yang tidak boleh Anda remehkan, dan itu membuat orang miskin menjadi semakin miskin," lanjutnya.
Ubah Definisi Kematian COVID-19
WHO juga memperluas definisi 'kematian COVID-19'. Pasien yang meninggal dunia dengan gejala klinis penyakit akibat virus Corona juga mesti dilaporkan sebagai korban pandemi. Padahal, sebelumnya, hanya untuk yang dipastikan terjangkit Corona.
"WHO telah mengembangkan definisi berikut untuk melaporkan kematian COVID: kematian COVID-19 yang didefinisikan untuk kepentingan pengawasan adalah kematian akibat penyakit yang kompatibel (cocok) secara klinis dalam suatu kasus yang mungkin COVID-19 atau kasus yang terkonfirmasi sebagai COVID-19," demikian tulis WHO, dikutip detikcom dari situs resminya, Jumat (1/5/2020).
Definisi terbaru mengenai 'kematian COVID-19' itu tertulis dalam laporan perkembangan COVID-19 Nomor 82 (Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) situation report-82), tertanggal 11 April 2020. Suatu kasus digolongkan sebagai 'kematian COVID-19' apabila tak ada periode sembuh total antara waktu sakit dan waktu kematian.
Dalam definisi baru mengenai 'kematian COVID-19' ini, ada istilah kematian dari 'probable case (kasus yang mungkin COVID-19)'. Bila ada seseorang yang menyandang 'probable case' itu meninggal, maka kini kematian orang itu dihitung sebagai 'kematian COVID-19'.
Dalam keterangan yang sama, 'probable case' didefinisikan sebagai:
a. Kasus suspek (terduga) dengan hasil tes yang inkonklusif (tidak meyakinkan), hasil inkonklusif dari tes itu dilaporkan oleh laboratorium, atau
b. Kasus suspek dengan tes yang tidak dapat dilakukan dengan alasan apapun
Anjurkan Penggunaan Masker
WHO awalnya juga menyarankan masker hanya dipakai untuk orang sakit atau orang yang merawat orang sakit. Namun saran itu berubah karena bukti-bukti studi terbaru.
"Kami bisa melihat situasi pemakaian masker, yang dibuat sendiri di rumah atau masker kain, di tingkat komunitas dapat membantu respons keseluruhan terkait penyakit ini," kata salah satu direktur eksekutif WHO, Dr Michael Ryan, seperti dikutip dari South China Morning Post, Sabtu (4/4/2020).
"Kami mendukung pemerintah yang ingin menerapkan penggunaan masker secara terukur dan memasukkannya dalam strategi komprehensif pengendalian penyakit," lanjutnya menambahkan masker bedah dan N95 tetap diprioritaskan untuk tenaga medis.
Diberitakan bahwa para ahli WHO akan meninjau ulang rekomendasi pemakaian masker karena bukti studi terbaru yang melihat jarak aman saat seseorang bersin. Studi oleh peneliti di Massachusetts Institute of Technology (MIT) menemukan bahwa saat seseorang bersin, percikan liur atau droplet yang dihasilkan bisa meluncur sampai delapan meter. Selain itu partikel yang dihasilkan juga memiliki berbagai macam ukuran.