Dalam unjuk rasa, polisi sering menembakkan pelet ke arah kerumunan demonstran. "Mereka menembak pada sudut 90 derajat, yang bisa dikatakan, secara langsung terarah ke wajah," sebut Meza.
Meza menyebut sebagian besar korban luka menyebut pasukan kepolisian nasional Chile atau Carabineros yang melepas tembakan.
Institut Nasional Hak Asasi Manusia setempat menyatakan meskipun mereka mengecam aksi anarkis yang dilakukan demonstran, hal itu tidak membenarkan 'penggunaan tanpa pandang bulu' senjata pelet oleh polisi antihuru-hara. Disebutkan Meza bahwa negara-negara lainnya tampak mematuhi protokol soal penggunaan senjata pelet, namun tidak demikian dengan Chile.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chile memiliki protokol untuk penggunaan kekuatan oleh polisi dalam unjuk rasa. Polisi diwajibkan untuk pertama kali mengupayakan ketertiban dengan komando verbal. Penggunaan kekuatan baru diizinkan dalam kasus adanya perlawanan aktif dari demonstran. Penggunaan senjata tidak mematikan baru diperbolehkan saat terjadi tindak kekerasan aktif oleh demonstran. Senjata mematikan boleh digunakan secara terbatas pada situasi yang dianggap mematikan.
Institut Nasional HAM, Amnesty International dan Medical College mendorong pemerintah Chile untuk melarang penggunaan senjata pelet oleh polisi sejak awal unjuk rasa. Dorongan itu menghadapi hambatan. Namun pekan ini pengadilan banding di Antofagasta dan Concepcion melarang penggunaan senjata mematikan terhadap demonstran yang beraksi secara damai.
Pada Minggu (10/11) lalu, Kepala Kepolisian Jenderal Mari Rozas menyatakan penggunaan senjata pelet akan dibatasi. Namun keesokan harinya, seorang mahasiswa bernama Vicente Munoz terkena proyektil yang ditembakkan polisi dari jarak hanya 2 meter. Munoz kehilangan penglihatan sebelah kiri akibat tembakan itu.
(nvc/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini