Seperti dilansir The Guardian dan Reuters, Kamis (8/3/2018), pemimpin Paul Golding (36) dan wakilnya, Jayda Fransen (31), dinyatakan bersalah atas dakwaan pelecehan keagamaan di pengadilan Folkestone pada Rabu (7/3) waktu setempat.
Nama Fransen sempat mencuat setelah postingan Twitternya yang berisi propaganda anti-muslim di-retweet oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada November 2017. Trump telah meminta maaf atas tindakannya itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kasus ini, Golding divonis 18 minggu penjara, sedangkan Fransen divonis 36 minggu penjara oleh pengadilan setempat.
Keduanya dinyatakan bersalah telah merekam dan melecehkan orang-orang yang secara salah mereka yakini terlibat dalam persidangan pemerkosaan di Canterburry, Kent. Kasus pemerkosaan itu melibatkan sejumlah pria muslim setempat.
Baik Golding dan Fransen sengaja mendatangi dan mengganggu orang-orang yang mereka yakini terlibat kasus pemerkosaan itu. Mereka mendatangi rumah-rumah terdakwa kasus pemerkosaan dan memberikan brosur bersifat ofensif serta meneriakkan kata-kata kasar.
Aksi mereka itu direkam dan videonya diposting via situs Britain First. Video itu digunakan untuk propaganda kelompok mereka.
"Persidangan kasus ini menunjukkan bahwa para terdakwa tidak semata-mata mempraktikkan kebebasan berbicara tapi malah melakukan penganiayaan keagamaan pada anggota-anggota publik yang tidak bersalah," sebut jaksa setempat, Jaswant Narwal, dalam persidangan.
Hakim Justin Barron dalam putusannya menyatakan kata-kata dan tindakan Golding dan Fransen jelas 'menunjukkan kebencian' terhadap warga muslim dan Islam.
"Saya tidak meragukan lagi bahwa memang menjadi niat mereka untuk memanfaatkan fakta-fakta kasus (Canterburry) untuk tujuan politik mereka sendiri. Itu menjadi kampanye untuk mengarahkan perhatian pada ras, agama dan latar belakang imigran para terdakwa (kasus Canterburry)," kata hakim Barron.
(nvc/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini