Mahkamah Pidana Internasional Sebut AS Lakukan Kejahatan Perang di Afghanistan

Mahkamah Pidana Internasional Sebut AS Lakukan Kejahatan Perang di Afghanistan

Novi Christiastuti - detikNews
Selasa, 15 Nov 2016 19:59 WIB
Ilustrasi (REUTERS/Mike Segar)
Den Haag - Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menyebut militer Amerika Serikat (AS) diduga melakukan kejahatan perang di Afghanistan pada tahun 2003-2004. Militer AS menyiksa para tahanan di Afghanistan dalam praktik yang disebut jaksa ICC sebagai kebijakan yang disengaja.

Mengungkapkan hasil penyelidikan panjang di Afghanistan, seperti dilansir AFP, Selasa (15/11/2016), jaksa ketua pada ICC Fatou Bensouda akan memutuskan segera soal apakah perlu meluncurkan penyelidikan menyeluruh atas dugaan ini dan membawa kasus ini ke pengadilan kejahatan perang.

Dalam pernyataannya, Bensouda menekankan bahwa kelompok Taliban dan jaringan Haqqani, pasukan pemerintah Afghanistan, militer AS dan juga Badan Intelijen AS atau CIA bersama-sama melakukan kejahatan peran sejak Taliban dilengserkan oleh invasi AS ke Afghanistan tahun 2001 lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bensouda menyalahkan Taliban dan aliansinya atas kematian sekitar 17 ribu warga sipil sejak tahun 2007 hingga Desember 2015, dalam berbagai serangan brutal yang beberapa diarahkan ke sekolah, rumah sakit dan masjid.

Baca juga: Donald Trump Ingin Ubah Hukum AS Demi Legalkan Penyiksaan Teroris

Namun untuk pertama kali, Bensouda menyoroti tudingan kejahatan perang oleh militer AS. "Kejahatan perang melalui penyiksaan dan perlakuan buruk, oleh pasukan militer AS yang dikerahkan ke Afghanistan dan di fasilitas tahanan rahasia yang dioperasikan CIA," sebutnya.

Bensouda menyebut, ada sejumlah alasan mendasar untuk meyakini bahwa penyiksaan terjadi saat proses interogasi para tahanan. "Personel pasukan bersenjata AS dan CIA mengadopsi teknik yang mengarah pada praktik kejahatan perang melalui penyiksaan," terang Bensouda, sembari menyebut adanya praktik perlakuan kasar dan juga pemerkosaan.

Jika nantinya Bensouda meminta jajaran hakim ICC untuk memerintahkan penyelidikan skala penuh, maka ICC akan melakukan penyelidikan paling rumit dan kontroversial secara politik yang pernah ada. Tapi di sisi lain, otoritas AS belum meratifikasi Statuta Roma yang disusun ICC, sehingga kemungkinan besar AS tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan ICC.

Meskipun selama ini AS berada di posisi depan dalam menyerukan pihak-pihak maupun negara yang ada di balik kekejaman konflik Suriah untuk diadili di Den Haag, kecil kemungkinan tentara AS akan berakhir di pengadilan kejahatan perang.

Baca juga: Pakar PBB Kritik Dukungan Donald Trump untuk Penyiksaan Tersangka Teroris

Pemerintahan AS di bawah Presiden George W Bush mengizinkan penggunaan teknik interogasi tingkat tinggi, termasuk waterboarding yang sarat penyiksaan, setelah tragedi 11 September 2001. Praktik teknik interogasi sarat penyiksaan itu dihapus di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama sejak dia menjabat pada Januari 2009.

Namun selanjutnya, presiden terpilih AS Donald Trump yang akan menggantikan Obama pada Januari 2017, disinyalir akan memberlakukan kembali praktik itu. Trump sebelumnya pernah menyatakan dukungan pada teknik interogasi kasar dan sarat penyiksaan.

(nvc/trw)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads