Seperti dilansir CNN, Selasa (14/6/2016), Trump malah memperluas larangan itu untuk negara-negara yang memiliki sejarah terorisme. Bahkan dia mengisyaratkan perluasan wewenang presiden melalui perintah eksekutif yang hanya bisa dikeluarkan seorang presiden AS.
"Respons pembenaran politik saat ini memicu ketimpangan dalam kemampuan kita untuk berbicara dan berpikir dan bertindak dengan jelas. Jika kita tidak tegas, dan kita tidak cerdas, dan cepat, kita tidak akan lagi memiliki negara ini. Tidak akan ada apapun, tidak ada, yang tersisa," sebut Trump saat berbicara di Saint Anselm College, New Hampshire.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam komentarnya, yang disampaikan pada Senin (13/6), Trump tidak menyebut langsung nama pelaku penembakan di Orlando yang diidentifikasi sebagai Omar Mateen. Namun Trump menyebut pelaku sebagai warga Afghanistan, dari orangtua Afghanistan yang bermigrasi ke AS. Padahal faktanya, Mateen merupakan warga negara AS yang lahir di New York dari orangtua Afghanistan.
Tidak hanya itu, dalam komentarnya, Trump terkesan menyamakan seluruh muslim yang ingin masuk ke AS dengan para pelaku serangan teror. "Kita tidak bisa terus mengizinkan ribuan orang dan ribuan orang untuk masuk ke negara kita, yang kebanyakan memiliki pola berpikir yang sama dengan pembunuh kejam ini," cetus Trump.
"Ingatlah, Islam radikal itu antiwanita, anti-gay dan anti-Amerika," imbuhnya.
Baca juga: Sebut Dirinya Benar Soal Islam Radikal, Donald Trump Menuai Kecaman
CNN menyebut, pidato Trump menanggapi penembakan di Orlando itu jelas merupakan upaya untuk menempatkan dirinya sebagai agen perubahan yang kuat untuk AS. Trump berusaha memposisikan diri sebagai sosok yang mampu mengikis budaya kelemahan dan ketidakmampuan otoritas AS, yang disebutnya memicu terorisme mengakar di AS dan mengancam budaya AS.
Strategi semacam ini sejak lama dijalankan Trump demi menarik simpati pendukung dan membantunya memenangkan pemilihan awal Partai Republik.
(nvc/nwk)