Setidaknya satu anak di setiap kelas di Jerman artinya satu dari 25 hingga 30 anak pernah mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru, staf sekolah lain selain pengajar, atau teman sekelas. Insiden-insiden itu kerap berdampak serius pada kehidupan dan karier mereka di masa mendatang. Demikian hasil studi yang dilakukan Komisi Independen untuk Penyelidikan Kekerasan Seksual pada Anak-anak. Kajian itu menunjukkan bahwa siswa yang mengalami kekerasan seksual di sekolah seringkali gagal mendapatkan perlindungan dari sistem sekolah itu sendiri.
"Sering kali ada saksi yang lebih mementingkan solidaritas rekan kerja daripada perlindungan anak-anak, mengabaikan atau bahkan menutupi kekerasan demi menjaga reputasi sekolah," jelas anggota komisi dalam konferensi pers, Rabu (04/12). "Kami menemukan bahwa korban mencari strategi sendiri untuk menghindari kekerasan, seperti bolos sekolah atau tinggal kelas." Mengulang kelas bisa berarti mereka tidak lagi harus berada di kelas dengan guru yang menyalahgunakan mereka.
Para penulis studi mengevaluasi 133 laporan dan kesaksian dari korban yang mengalami kekerasan seksual di sekolah di Jerman, termasuk bekas wilayah Jerman Timur, antara tahun 1949 hingga 2010. Hampir 80% korban adalah perempuan. Mayoritas besar pelaku adalah laki-laki, baik dalam kasus kekerasan oleh teman sebaya maupun oleh guru.
Hampir 70% korban yang kasusnya dievaluasi dalam studi ini menduga bahwa orang lain di sekolah mengetahui adanya kekerasan seksual. "Tapi semua korban yang kami wawancarai mengatakan bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan bantuan dan dukungan yang kompeten," kata Julia Gebrande, ketua komisi independen, kepada DW.
Sekolah lebih mementingkan reputasi daripada keadilan
Studi ini menyoroti satu kasus contoh dari tahun 1990-an: Seorang guru menerima keluhan dari siswi kelas enam tentang guru olahraga yang terus masuk ke ruang ganti mereka. Ketika ia memutuskan untuk menyelidiki, ia menyaksikan rekannya masuk ke ruang ganti siswi tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
Saat ia melaporkan hal ini ke administrasi sekolah, ia diberitahu bahwa ia pasti salah, bahwa rekannya "tidak akan melakukan hal seperti itu," dan bahwa ia "hanya terlalu sensitif soal masalah ini." Ia juga dituduh telah "merusak reputasi sekolah."
Pelakunya tidak pernah diselidiki, dan guru yang melapor bahkan diminta untuk meminta maaf secara pribadi kepada pelaku."Ini biasanya taktik pelaku kekerasan: Menampilkan diri sebagai sangat peduli dan siap membantu. Mereka membuat diri mereka tak tergantikan. Anda bahkan tidak akan menyangka bahwa rekan sekerja yang begitu menyenangkan bisa melakukan kekerasan," tambah Gebrande.
Di Sekolah Odenwaldschule ada ratusan kasus kekerasan
Isu kekerasan seksual di sekolah Jerman menjadi sorotan publik luas pada 2010 ketika surat kabar Berliner Morgenpost melaporkan kasus kekerasan seksual di Canisius-Kolleg Berlin, sebuah sekolah Katolik swasta. Laporan ini mendorong ratusan korban dari institusi lain, mengkat isu ini ke permukaan. terutama dari Odenwaldschule, sebuah sekolah asrama swasta di Negara Bagian Hessen.
Sebagai respons terhadap skandal ini, pemerintah Jerman pertama-tama membentuk Komisaris Federal Independen untuk Melawan Kekerasan Seksual pada Anak pada 2010. Komisi Independen untuk Penyelidikan Kekerasan Seksual pada Anak kemudian dibentuk pada tahun 2016.
Studi yang dilakukan oleh Institut Pemuda Jerman, salah satu lembaga penelitian ilmu sosial terbesar di Eropa, pada kurun waktu 2023–2024 menemukan bahwa satu dari dua remaja dari 1.600 responden pernah mengalami kekerasan seksual dalam setahun terakhir.Namun, belum ada data empiris komprehensif tentang kekerasan seksual di sekolah, dan penyelidikan hanya dilakukan di dua sekolah negeri di Jerman.
"Masih belum ada struktur yang memadai untuk menangani masalah ini di sekolah atau di otoritas pengawas sekolah," kata Gebrande. "Itulah sebabnya kami ingin hal ini menjadi elemen kunci dalam pelatihan guru."
"Saya merasa diabaikan, rentan, dan tak berdaya"
Masalah besar lainnya yang disoroti studi baru ini adalah banyak korban tidak memiliki kata-kata untuk menggambarkan apa yang dialami dan seringkali tidak menyadari bahwa yang mereka alami adalah kekerasan seksual.
Dalam satu kasus dari tahun 1970-an, seorang perempuan bernama Julia menceritakan kepada komisi tentang hubungan seksual yang dijalin dengan guru seninya yang berusia 32 tahun selama beberapa tahun, saat ia berusia 13 tahun. Ketika jauh di kemudian hari ia membaca artikel surat kabar tentang kasus serupa, "saya baru menyadari bahwa apa yang terjadi pada saya adalah kekerasan seksual."
Dalam kasus lain dari tahun 1990-an, Lea, seorang perempuan trans yang saat itu masih hidup sebagai laki-laki, mengalami pelecehan verbal, fisik, dan seksual berulang kali oleh sekelompok anak laki-laki di kelas 10. Ia memberanikan diri bercerita pada guru yang dipercaya. Namun ia merasa malu dan tidak tahu bagaimana mendeskripsikan pelecehan yang dialami. Alih-alih mendapat dukungan, guru tersebut mengatakan bahwa masalah itu harus diselesaikan sendiri oleh anak-anak sendiri dan kata guru itu kepadanya waktu itu, situasi justru akan memburuk jika orang dewasa ikut campur.
Ia diberi tahu bahwa sejumlah "perkelahian dan konflik" adalah hal normal pada usia itu—terutama di antara anak laki-laki. "Saya merasa terlantar, rentan, dan tak berdaya," tutur Lea kepada komisi. Tidak ada konsekuensi bagi pelaku: "Perilaku mereka bahkan diperkuat oleh fakta bahwa tidak ada yang menghalangi mereka melakukan kekerasan."
Undang-Undang baru untuk melawan kekerasan seksual pada anak
Undang-undang baru untuk menangani kekerasan seksual pada anak mulai berlaku pada Juli tahun ini. Berdasarkan undang-undang ini, akan dibentuk dewan penasihat dari para penyintas, serta dilakukan studi tahunan mengenai prevalensi kekerasan seksual pada anak usia 14–15 tahun mulai tahun 2026.
Selain perubahan kelembagaan yang direncanakan, Gebrande berharap studi baru ini mendorong masyarakat untuk menyoroti kekerasan seksual pada anak di komunitas masing-masing, menengok kembali sejarah sekolah mereka sendiri, dan mendengarkan suara korban. "Menurut pengalaman kami, penyelidikan biasanya hanya dilakukan ketika korban memberi tekanan kepada institusi melalui media," pungkasnya.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman
Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih
Editor: Rizki Nugraha
Simak juga Video Data WHO: Sepertiga Perempuan di Dunia Alami Kekerasan Fisik dan Seksual
(ita/ita)