Asia Tenggara Pimpin Dunia Kurangi Jumlah Perokok

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Selasa, 14 Okt 2025 15:43 WIB
Jakarta -

Dalam upaya memberantas penggunaan tembakau, Asia Tenggara kini memimpin dunia. Sejak 2010, kawasan ini berhasil memangkas konsumsi tembakau secara besar-besaran. Dulu, Asia Tenggara tercatat sebagai wilayah dengan tingkat penggunaan tembakau per kapita tertinggi di dunia. Kini, posisinya turun ke peringkat kedua dalam daftar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sementara Eropa justru menempati peringkat teratas.

Pencapaian ini penting karena Asia Tenggara menampung sekitar seperempat populasi dunia. Pada awal abad ke-21, lebih dari separuh penduduk berusia 15 tahun ke atas di kawasan ini menggunakan tembakau. Namun pada 2030 mendatang, WHO memperkirakan angkanya turun drastis, kurang dari satu dari lima orang akan mengonsumsi produk tembakau.

"Penurunan ini luar biasa, meski sejalan dengan tren global," ujar Kamran Siddiqi, profesor kesehatan masyarakat dari University of York, Inggris.

Secara global, masyarakat memang semakin meninggalkan tembakau sejak tahun 2000. Tren ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang membatasi penjualan dan iklan rokok, serta meningkatnya kesadaran publik tentang bahaya kesehatan akibat merokok.

Pada 2010, WHO menargetkan penurunan penggunaan tembakau sebesar 30 persen dalam 15 tahun. Dari semua kawasan di dunia, hanya Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika yang diperkirakan mampu mencapai target tersebut.

Penggunaan tembakau secara langsung maupun paparan asap rokok pasif dapat memicu berbagai penyakit serius, mulai dari kanker paru-paru, penyakit jantung, stroke, hingga asma.

Apa kata data?

Data terbaru WHO menunjukkan penurunan global konsumsi tembakau: kini ada 120 juta perokok lebih sedikit dibanding tahun 2010, atau turun 27 persen dalam 15 tahun terakhir.

Di Asia Tenggara, lebih dari separuh pengguna tembakau telah berhenti. Efek positifnya langsung terasa, karena perbaikan kesehatan bisa terjadi hanya dalam hitungan hari setelah seseorang berhenti merokok.

Meski begitu, sekitar 20 persen populasi dunia masih menggunakan produk tembakau, termasuk tembakau kunyah, kantong tembakau, dan rokok elektronik. WHO mencatat, penurunan konsumsi tembakau berjalan lebih lambat di negara-negara berpenghasilan tinggi.

Setiap tahun, tembakau menyebabkan sekitar tujuh juta kematian langsung, serta tambahan 1,6 juta kematian akibat paparan asap rokok pasif.

Bagaimana Asia Tenggara bisa berhasil?

Asia Tenggara diperkirakan telah mengurangi konsumsi tembakau hingga 40 persen sejak 2010, terutama karena semakin banyak pria yang berhenti merokok. Pada tahun 2000, sekitar 70 persen pria di kawasan ini menggunakan tembakau; kini angkanya tinggal setengahnya.

Menurut Ravi Mehrotra, profesor di Emory University, AS, keberhasilan ini tidak lepas dari upaya kolektif di seluruh lapisan masyarakat. "Banyak pihak berperan penting, mulai dari peneliti, tenaga kesehatan, hingga pembuat kebijakan," ujarnya kepada DW.

Berbagai langkah kebijakan diterapkan, seperti pelabelan peringatan kesehatan di kemasan, larangan merokok di ruang publik, pendidikan antirokok di sekolah, dan kampanye yang melibatkan aktor serta atlet sebagai panutan positif.

Beberapa negara juga menerapkan pendekatan unik. India, misalnya, mewajibkan tayangan peringatan kesehatan di setiap adegan film atau serial yang menampilkan aktivitas merokok

Tantangan baru: produk tembakau tanpa asap

Asia Tenggara masih menjadi rumah bagi seperempat pengguna tembakau di dunia. Meski jumlah perokok menurun tajam, penurunan itu menutupi kenyataan bahwa produk tembakau tanpa asap masih banyak digunakan di kawasan ini.

Lebih dari seperempat pria di Asia Tenggara masih mengonsumsi produk tembakau tanpa asap, sementara sekitar satu dari tujuh perempuan juga masih menggunakannya. Di kalangan remaja, sekitar satu dari tujuh anak berusia 13-15 tahun sudah mencoba rokok elektronik. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global, yakni satu dari seribu orang di semua kelompok usia.

Menurut Kamran Siddiqi dari University of York, Asia Tenggara memiliki konteks yang unik dalam epidemi tembakau global. Di lain pihak WHO mengklasifikasikan penggunaan tembakau sebagai epidemi. Tidak seperti kawasan lain yang didominasi rokok konvensional, di Asia Tenggara produk tanpa asap justru sama populernya.

Namun, pemantauan penggunaan produk tanpa asap jauh lebih sulit dibandingkan rokok. "Kami belum memiliki data yang sekuat untuk rokok konvensional," kata Siddiqi. "Produk tembakau ilegal masih marak, dan sebagian besar tembakau tanpa asap juga diperdagangkan secara ilegal. Kami berharap kemajuannya bisa lebih besar lagi."

Pada 2023, Siddiqi dan timnya menyerukan pendekatan yang lebih kontekstual dalam pengendalian tembakau di Asia Tenggara. Langkah itu mencakup pengurangan paparan asap rokok, pemetaan rantai pasokan tembakau di kawasan, serta pemahaman lebih baik terhadap dampak produk tembakau tanpa asap.

"Penurunan konsumsi tembakau terjadi di seluruh dunia, dan saya yakin hasilnya bisa lebih besar di Asia Tenggara jika faktor-faktor seperti tembakau tanpa asap mendapat perhatian lebih serius," ujar Siddiqi kepada DW.

Pajak dan regulasi kemasan

Untuk menekan konsumsi tembakau lebih jauh, para ahli menilai Asia Tenggara perlu menggabungkan strategi yang telah terbukti efektif di dunia dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi lokal.

Baik Siddiqi maupun Mehrotra menekankan pentingnya menaikkan pajak tembakau hingga minimal 70 persen dari harga jual, sesuai rekomendasi WHO. Mereka juga menyarankan penerapan kemasan polos tanpa merek, yang terbukti efektif di beberapa negara lain.

Selain itu, pengawasan terhadap iklan terselubung atau "surrogate advertising" juga perlu diperketat agar kampanye kesehatan publik bisa berjalan lebih efektif.

Catatan redaksi: WHO mengelompokkan negara berdasarkan kriteria statistik dan administratifnya sendiri. Misalnya, India digolongkan ke dalam kawasan Asia Tenggara, sementara Indonesia dimasukkan ke dalam wilayah Pasifik Barat.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Ausirio Sangga Ndolu

Editor: Agus Setiawan

width="1" height="1" />




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork