Penulis Hungaria Laszlo Krasznahorkai Raih Nobel Sastra

Deutsche Welle (DW) - detikNews
Jumat, 10 Okt 2025 16:05 WIB
Jakarta -

Laszlo Krasznahorkai, penulis asal Hungaria, dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra 2025. Pengumuman tersebut disampaikan oleh Akademi Swedia pada Kamis (9/10).

Krasznahorkai dianugerahi penghargaan ini "atas karya-karyanya yang menggugah dan visioner" yang "di tengah teror apokaliptik" mampu "menegaskan kembali kekuatan seni," ujar Mats Malm, sekretaris tetap Akademi Swedia.

Penulis dan penulis skenario berusia 71 tahun ini dikenal lewat gaya pascamodern dan kisah distopia yang menggambarkan kehidupan di kota-kota kecil Hungaria.

Beberapa novelnya, seperti "Satantango" (1985) dan "The Melancholy of Resistance" (1989), diadaptasi menjadi film-film pemenang penghargaan oleh sutradara legendaris Bela Tarr, kolaborator lama Krasznahorkai.

Menurut Malm, Krasznahorkai adalah "seorang penulis epik besar dalam tradisi Eropa Tengah yang mengalir dari Kafka hingga Thomas Bernhard, dan dicirikan oleh absurdisme serta kelebihan yang grotesk."

Hadiah Nobel Sastra dianggap sebagai penghargaan paling bergengsi bagi seorang penulis. Krasznahorkai sendiri sudah lama diperkirakan akan menang, namanya kerap muncul sebagai kandidat utama selama satu dekade terakhir.

"Hidup saya adalah koleksi yang abadi"

Berbicara kepada Radio Swedia, Krasznahorkai (71) mengatakan bahwa ia awalnya hanya berencana menulis satu buku, tetapi setelah membaca novel debutnya, Satantango, ia ingin memperbaiki tulisannya dengan karya berikutnya.

"Hidup saya adalah koreksi yang abadi," katanya.

Ia menambahkan bahwa inspirasi terbesarnya sebagai novelis adalah "kepahitan."

"Saya sangat sedih ketika memikirkan keadaan dunia saat ini, dan itulah inspirasi terdalam saya," katanya dalam wawancara yang diterbitkan di situs web Nobel pada hari Kamis. Ia berbicara dari Frankfurt, tempat ia sedang menjenguk seorang teman yang sakit.

Karyanya dikenal memadukan suasana suram dengan humor absurd yang halus. Dalam wawancara setelah kemenangannya di Booker Prize, The Guardian pernah bertanya buku mana yang cocok untuk pembaca baru. Ia menjawab:

"Jika ada pembaca yang belum membaca buku-buku saya, saya tidak dapat merekomendasikan apa pun untuk mereka baca; sebaliknya, saya akan menyarankan mereka untuk keluar, duduk di suatu tempat, mungkin di tepi sungai, tanpa melakukan apa pun, tanpa memikirkan apa pun, hanya diam seperti batu. Mereka akhirnya akan bertemu seseorang yang sudah membaca buku-buku saya."

Kritikus Amerika Susan Sontag menyebutnya sebagai "master of the apocalypse" dalam sastra kontemporer, menurut Akademi Swedia, "sebuah penilaian yang ia buat setelah membaca buku kedua sang penulis, Melancholy of Resistance."

Perjalanan hidup dan karya

Lahir di Gyula pada tahun 1954, Krasznahorkai menempuh pendidikan sastra di Universitas Budapest. Ia pertama kali meninggalkan Hungaria pada 1987 dengan beasiswa DAAD ke Berlin Barat, lalu kembali ke Jerman beberapa tahun kemudian sebagai dosen tamu di Universitas Bebas Berlin.

Setelah menerbitkan novel debutnya "Satantango" pada 1985, namanya langsung melambung di dunia sastra Hungaria.

Pasca runtuhnya komunisme, ia banyak bepergian ke Cina. Pengalaman itu melahirkan buku perjalanan "Destruction and Sorrow Beneath the Heavens" (2004) yang mendapat banyak pujian.

Novel "War & War" (2006) menceritakan seorang arsiparis yang meninggalkan pinggiran Budapest menuju New York City. Saat menulisnya, Krasznahorkai tinggal di apartemen penyair Beat terkenal Allen Ginsberg. Ia kemudian mengatakan bahwa percakapannya dengan Ginsberg sangat mempengaruhi cara menulisnya.

Karya terbarunya, "Herscht 07769" (terbit pada 2021, diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 2024), disebut sebagai "novel Jerman kontemporer yang agung." Buku ini menggambarkan keresahan sosial di Jerman melalui serangkaian surat panjang kepada Angela Merkel, ditulis oleh seorang pria bernama Florian Herscht yang tinggal di Thuringia, wilayah miskin di bekas Jerman Timur. Kota ini juga merupakan tempat kelahiran Johann Sebastian Bach, dan warisan sang komponis menjadi latar bagi kekacauan sosial di cerita tersebut. Menariknya, novel setebal 400 halaman ini hanya memiliki satu tanda titik penuh.

Akademi Swedia mencatat bahwa gaya khas Krasznahorkai adalah "kalimat panjang berliku tanpa tanda titik," yang menciptakan irama mengalir dan mendalam.

Walau telah meraih banyak penghargaan, termasuk International Booker Prize (2015) dan US National Book Award for Translated Literature (2019), dalam beberapa tahun terakhir Krasznahorkai hidup tenang di pedesaan Hungaria.

Krasznahorkai menjadi penulis kedua berbahasa Hungaria yang memenangkan Nobel Sastra, setelah Imre Kertesz pada 2002.

Orban ucapkan selamat kepada kritikus tajamnya

Sebagai kritikus keras Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban, Krasznahorkai pernah menyebut pemerintahnya sebagai "kasus psikiatrik" karena sikapnya terhadap perang Ukraina.

Orban menolak bantuan militer untuk Kyiv dan mengatakan Hungaria harus tetap netral.

"Bagaimana mungkin sebuah negara bersikap netral ketika Rusia menginvasi negara tetangga?" kata Krasznahorkai dalam wawancara dengan Yale Review pada Februari lalu.

Menanggapi berita kemenangan itu, Orban menulis pesan singkat di platform X (Twitter):

"Laszlo Krasznahorkai, peraih Hadiah Nobel Sastra asal Hungaria, membawa kebanggaan bagi bangsa kami. Selamat!"

Upacara Nobel pada Desember mendatang

Tidak seperti banyak penghargaan lain, Hadiah Nobel Sastra diberikan untuk keseluruhan karya seorang penulis, bukan hanya satu buku.

Pemenang tahun lalu adalah Han Kang dari Korea Selatan, dikenal lewat novel-novelnya yang menggambarkan trauma dan kehidupan perempuan dalam masyarakat patriarkal. Ia adalah perempuan Asia pertama dan orang Korea pertama yang meraih penghargaan ini.

Upacara penyerahan Nobel akan diadakan pada Desember, disertai hadiah uang sekitar 1,2 juta dolar AS. Penerima penghargaan juga wajib memberikan kuliah khusus pada acara tersebut. Beberapa pemenang sebelumnya sempat enggan melakukannya, seperti Bob Dylan pada 2016, namun uang hadiah baru diberikan setelah ceramah disampaikan.

Komite Nobel sendiri kerap dikritik karena dianggap lebih banyak memilih penulis laki-laki Barat. Dari seluruh pemenang sejauh ini, hanya 18 orang perempuan, dan mayoritas menulis dalam bahasa Eropa.

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rahka Susanto

Editor: Yuniman Farid

width="1" height="1" />




(ita/ita)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork