Sebuah gelombang pemberontakan anak muda di Nepal meruntuhkan rejim yang berkuasa bak kartu domino. Pemerintahan Perdana Menteri K. P. Sharma Oli tumbang hanya dalam hitungan hari, setelah demonstran membakar gedung parlemen dan menyerbu kediaman pribadi pejabat negara.
Di ibu kota Kathmandu, warga masih terhentak oleh aksi protes berdarah yang digalang kaum muda perkotaan. Aksi kaum muda awal bulan ini berhasil menggulingkan pemerintahan Oli. Begitu cepat keruntuhan rejim, sempat muncul dugaan aksi demonstrasi dikendalikan aktor asing dari luar negeri. Ucapan selamat yang tergolong langka dari pemimpin spiritual Dalai Lama kian memanaskan perdebatan di media sosial. Namun, sebagian besar yakin revolusi di Nepal murni digerakkan rakyat sendiri.
"Gerakan Gen Z ini sering dibandingkan dengan perlawanan di Bangladesh, Sri Lanka, atau Suriah," tulis jurnalis Kathmandu, Devendra Bhattarai, dalam sebuah kolom. "Namun jangan dilupakan, ini bukan semata hasil pengaruh asing, melainkan revolusi yang lahir dan dipelihara oleh pemimpin muda di Nepal sendiri."
Frustrasi massal
Sucheta Pyakurel, ilmuwan politik, menyebut tumbangnya pemerintahan di bahwa PM Oli sebagai "revolusi frustrasi massal" akibat minimnya peluang kerja dan maraknya praktik kroniisme, terutama gaya hidup mewah keluarga pejabat. Namun dia juga menekankan adanya "hubungan erat antara kedaulatan dan pengaruh luar."
"Ketika kita kehilangan kendali atas institusi negara dan pasar—dengan begitu banyak anak muda memilih bekerja di luar negeri—pengaruh eksternal akan tumbuh secara alami," ujarnya.
Nepal, negeri 30 juta jiwa yang terjepit di antara India dan Cina, memang sudah lama dilanda ketidakstabilan. Sejak konstitusi baru diberlakukan pada 2015, Kathmandu telah berganti delapan pemerintahan, dipimpin tiga tokoh yang sama yang bergiliran memegang kekuasaan: Oli dari CPN-UML, Sher Bahadur Deuba dari Nepali Congress, dan Pushpa Kamal Dahal dari Partai Komunis Nepal (CPN).
Sebagian elite politik Nepal, terutama dari kubu kiri dan pro-monarki, berulang kali menuding ada campur tangan asing di balik pergeseran politik yang kerap terjadi. India, Amerika, dan Uni Eropa sering disebut sebagai aktor berpengaruh. Belakangan, Cina juga masuk dalam daftar tersebut, setelah tidak lagi mengandalkan diplomasi senyap.
Secara resmi, Kathmandu masih berpegang pada prinsip "nonblok" yang diwariskan Raja Prithvi, tokoh pemersatu Nepal modern pada 1768. Doktrin netralitas yang digariskan Prithvi mensyaratkan kebijakan yang bersahabat dengan semua negara, tanpa sikap permusuhan. Prinsip itu dimaksudkan untuk memastikan dukungan diplomatik dan pembangunan dari kedua tetangga raksasa, India dan Cina, serta dari kekuatan global lainnya. Amerika bahkan dianggap sebagai "tetangga ketiga" Nepal, karena pengaruhnya yang besar di kawasan.
Antara India dan Cina
Hubungan Nepal dengan India sangat dalam, baik secara budaya, ekonomi, maupun keamanan. Perbatasan sepanjang 1.751 kilometer yang terbuka membuat gejolak di Nepal langsung terasa dampaknya di India. Bagi New Delhi, keamanan menjadi kepentingan utama, selain kebutuhan menjaga mitra yang bisa diandalkan di Kathmandu.
Di utara, Nepal berbatasan dengan Daerah Otonomi Tibet. Beijing memandang ketidakstabilan di Nepal sebagai ancaman bagi keamanan Tibet. Karena itu, Cina menuntut Nepal teguh menjalankan prinsip "Satu Cina" dan mencegah segala aktivitas anti-Cina di wilayahnya. Kathmandu berulang kali menegaskan dukungannya, termasuk dengan mengakui Tibet, Hong Kong, Makau, dan Taiwan sebagai bagian dari Cina.
Pada 2017, Nepal bergabung dengan inisiatif Belt and Road (BRI). Proyek ini menjanjikan pembangunan jaringan transportasi lintas Himalaya, dari rel kereta hingga jalan raya, serta infrastruktur digital dan energi.
Amerika Serikat tidak tinggal diam. Washington baru-baru ini memberikan hibah senilai 530 juta dolar AS lewat Millennium Challenge Corporation (MCC) untuk meningkatkan jaringan energi dan infrastruktur jalan Nepal. MCC sering dipandang sebagai tandingan Barat terhadap BRI Cina.
Oli dan bayang-bayang Beijing
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintahan Oli dikabarkan semakin mendekat ke Beijing, baik secara diplomatik maupun ekonomi. Para analis meyakini Cina merasa nyaman berhubungan dengan partai-partai kiri di Nepal, terutama kaum Maois dan CPN-UML.
Sejak kunjungan kenegaraan Presiden Xi Jinping ke Kathmandu pada Oktober 2019, sejumlah pemimpin dan presiden berhaluan kiri di Nepal rajin bertandang ke Cina. Hanya beberapa hari sebelum demonstrasi besar pecah, Oli hadir dalam parade militer di Beijing memperingati 80 tahun kemenangan Cina atas Jepang.
Dalam kunjungan itu, Oli sempat mengajukan keberatan Nepal atas kesepakatan India-Cina membuka jalur ekonomi dan ziarah melalui Lipulekh Pass, wilayah yang diklaim Nepal. Di sela-sela acara, Oli juga bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri India Narendra Modi.
Cina menyebut, Nepal mendukung Global Security Initiative (GSI), gagasan Beijing untuk membentuk blok keamanan. Jika benar, hal itu melanggar kebijakan netralitas Nepal. Namun, pihak Nepal membantah Oli pernah menyatakan dukungan itu.
"Strategi Oli yang condong ke Cina tergolong tidak lazim," kata analis geopolitik Chandra Dev Bhatta. "Karena keterlibatan Nepal lebih besar dengan India dan Barat, pergeseran strategis ke arah Cina bisa dipandang tidak menguntungkan."
Jepang menjadi negara pertama yang memberi ucapan selamat atas jatuhnya rezim Oli, sinyal bahwa Tokyo tidak senang dengan arah diplomasi Oli.
Menanti Langkah Karki
Kini, dibentuk pemerintahan interim dipimpin mantan hakim agung, Sushila Karki. Kepemimpinannya disambut komunitas internasional. Di New Delhi, Perdana Menteri Narendra Modi menegaskan dukungan India bagi upaya Karki memulihkan stabilitas. Sementara Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan menghormati jalur pembangunan yang dipilih rakyat Nepal. Amerika, Uni Eropa, dan PBB juga menyampaikan dukungan.
Tugas utama pemerintahan Karki adalah menyiapkan pemilu baru sebelum menyerahkan kekuasaan kepada kabinet terpilih. Karena itu, masih terlalu dini menebak ke mana arah diplomasi Nepal setelah transisi.
Indra Adhikari, anggota dewan lembaga riset kebijakan Nepal, mengingatkan agar negeri itu tetap berpegang pada doktrin nonblok. "Nepal harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap geopolitik," katanya.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan
Lihat juga Video: Nepal Rusuh, Kok Mirip Demo di Indonesia?
(ita/ita)